Selasa, 20 Oktober 2009

Do'a Seorang Pendo'a

"Ya Allah...
dengan pengetahuan-Mu terhadap hal yang ghaib,
dengan kekuasaan-Mu atas segenap makhluk-Mu,
panjangkanlah hidupku jika Engkau mengetahui bahwa hidup itu lebih baik bagiku,
dan matikanlah aku jika kematian itu lebih baik bagiku.

Ya Allah...
Aku memohon rasa takut kepada-Mu dalam kesendirian dan dalam keramaian,
aku memohon kalimat yang hak dalam keadaan kurang maupun kecukupan,
aku memohon kenikmatan yang tidak pernah hilang
dan penyejuk pandangan mata yang takkan pernah putus.

Ya Allah...
Aku memohon keridhaan setelah jatuhnya ketetapan,
aku memohon sejuknya kehidupan setelah mati,
aku memohon kelezatan memandang wajah-Mu,
tidak dalam keadaan membahayakan tidak pula berbahaya,
tidak pula fitnah yang menyesatkan.

Ya Allah...
Hiasilah kami dengan perhiasan iman,
jadikanlah kami sebagai pemberi petunjuk dan orang-orang yang mendapat petunjuk."

(Shahih, HR. Ahmad dan Nasa'i dari hadits Ammar bin Yasir,
Syaikh Al-Albani, menshahihkannya dalam Shahihul Jami)

Selasa, 06 Oktober 2009

HIKMAH ILAHI DI BALIK GEMPA BUMI

oleh: Al-Ustadz Abdul Haq Al-Bantuli)*
=============================================

Di sebuah tempat di negeri ini, seorang ibu berkerudung tengah duduk ditemani tiga anaknya. Di depannya tampak sebuah rumah yang hampir rata dengan tanah. Itulah harta berharganya yang telah terenggut oleh gempa. Hampir tak ada lagi yang tersisa setelah itu.

Namun sedikitpun, tidak tampak gurat kesedihan pada dirinya. Padahal kini dengan sisa harta yang tidak seberapa, dia harus berjuang untuk hidup. Ia pun mesti mengubur dalam-dalam bayang kenyamanan tinggal di sebuah rumah. Karena rumahnya kini, hanya beralaskan bumi dan beratapkan langit.

Apapun yang terjadi, dia tetap memiliki sebuah keyakinan bahwa di balik itu semua ada hikmah dari Rabb subhanahu wa ta'ala.

Allah subhanahu wa ta'ala telah menyatakan di dalam Al-Qur’an:

Alif laam miim. Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: Kami telah beriman, sedang mereka tidak diuji lagi? Dan sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta. (Al -Ankabuut:1 -3)

Saudara-saudaraku seiman -semoga Allah merahmatimu-, selama hayat masih di kandung badan, selama jantung masih berdetak dan darah masih mengalir, demikian pula selama nafas masih berhembus, adalah sebuah kemestian jika cobaan, rintangan, musibah demi musibah, silih berganti mendatangi kita, sebagaimana yang telah Allah subhanahu wa ta'ala tetapkan dalam ayat di atas.

Perlu kita ketahui pula bahwa segala sesuatu yang menimpa kita, kebaikan maupun kejelekan, kesenangan ataupun kesedihan, dan yang lainnya, merupakan sesuatu yang telah ditakdirkan dan ditetapkan Allah subhanahu wa ta'ala. Sebagaimana Allah subhanahu wa ta'ala nyatakan dalam firman-Nya:



"Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauh Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah." (Al-Hadid:22 )


Takdir ini telah Allah subhanahu wa ta'ala tentukan50 . 000tahun sebelum penciptaan langit dan bumi, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam:

"Allah telah menulis takdir-takdir seluruh makhluq (pada kitab lauh mahfudz) 50. 000(lima puluh ribu) tahun sebelum menciptakan langit dan bumi." (HR. Al-Imam Muslim dari shahabat Abdullah ibn Amr ibn Al-Ash radhiyallahu 'anhu)


Dengan demikian kita sadar bahwa gempa yang merobohkan rumah-rumah kita, mengubur harta kita, dan melukai saudara-saudara kita, bahkan menyebabkan terambilnya sebagian nyawa mereka, semuanya telah Allah subhanahu wa ta'ala takdirkan. Tiada seorangpun yang mampu untuk mengelakkannya, sebagaimana yang disabdakan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam:

"Ketahuilah wahai saudara-saudaraku kaum muslimin bahwa apa yang harus menimpamu tidak akan luput darimu, dan apa-apa yang luput darimu tidaklah akan menimpamu." (HR. Al-Imam At-Tirmidzi dari shahabat Ibnu Abbas)


Apa Rahasia di Balik itu Semua?
Apakah Allah subhanahu wa ta'ala hendak berbuat dzalim kepada hamba-Nya atau menyakitinya? Ketahuilah wahai hamba-hamba Allah subhanahu wa ta'ala bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:

Jika Allah menghendaki kebaikan bagi hamba-Nya, niscaya Allah akan menyegerakan hukuman baginya di dunia dan jika Allah menghendaki keburukan pada hamba-Nya niscaya Allah akan mengakhirkan hukuman atas dosa-dosanya sehingga Allah akan menyempurnakan hukuman baginya di akhirat kelak. (HR. Al-Imam At-Tirmidzi dari shahabat Anas ibn Malik radhiyallahu 'anhu).

Hadits tersebut menjelaskan bahwa apabila Allah subhanahu wa ta'ala menginginkan kebaikan bagi hamba-Nya, niscaya Allah subhanahu wa ta'ala akan menyegerakan hukuman baginya di dunia. Maka bergembiralah, wahai saudara-saudaraku kaum muslimin! Karena musibah ini kita harapkan sebagai bukti bahwa Allah menghendaki kebaikan untuk diri-diri kita, baik di dunia maupun di akhirat, sebagaimana yang Rasulullah asabdakan:

Barangsiapa dikehendaki oleh Allah suatu kebaikan bagi dirinya, niscaya Allah akan menimpakan baginya musibah. (HR. Al-Imam Al-Bukhari dan shahabat Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu)

Janganlah patah semangat, wahai saudaraku kaum muslimin, atas musibah apapun yang menimpamu, karena itu akan menjadikan besar pula pahalamu, sebagaimana sabda Rasul shallallahu 'alaihi wasallam:

Sesungguhnya besarnya pahala itu tergantung dengan besarnya ujian/musibah yang menimpamu. (HR. Al-Imam At-Tirmidzi dari shahabat Anas radhiyallahu 'anhu)


Bangkitlah wahai saudaraku! Karena ini merupakan bukti bahwa Allah mencintaimu, sebagaimana sabda Rasulmu shallallahu 'alaihi wasallam:

Apabila Allah mencintai suatu kaum maka Allah akan menguji mereka. Barangsiapa yang ridha maka ia akan mendapatkan keridhaan Allah, dan barangsiapa yang murka maka ia akan mendapatkan kemurkaan dari Allah."



Besarkanlah hatimu wahai kaum muslimin! Karena ini merupakan tanda bahwa Allah subhanahu wa ta'ala akan mengampuni dosa-dosamu, sehingga meringankanmu di hari perhitungan nanti. Sebagaimana ini dinyatakan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Al-Imam Tirmidzi dari shahabat Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu:


Cobaan akan terus senantiasa menimpa seorang mukmin, laki-laki dan wanita, baik pada jiwanya, anaknya, demikian pula hartanya sehingga ia berjumpa dengan Allah (meninggal) dan tidak ada padanya satu dosapun (tidak menanggung satu dosapun).�

Sabar dan tetaplah bersabar wahai saudara-saudaraku kaum muslimin, dengan tetap memohon pertolongan kepada Allah subhanahu wa ta'ala dan banyak memanjatkan doa kepada-Nya. Sebagaimana bimbingan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam kepada Ummu Salamah dketika beliau tertimpa musibah:


Sesungguhnya kita milik Allah dan hanya kepada Allah kita akan kembali. Ya Allah, berilah pahala atas musibah yang menimpaku dan gantilah untukku dengan yang lebih baik dengannya.� (HR. Al-Imam Muslim dari shahabat Ummu Salamah radhiyallahu 'anha)

Sepantasnya kaum muslimin senantiasa memanjatkan rasa syukurnya kepada Allah subhanahu wa ta'ala, karena Allah subhanahu wa ta'ala telah memilihnya untuk dihapuskan dosa-dosanya, bertambah banyak pahalanya, dan akan Allah angkat derajatnya.

Sekalipun rumah hancur atau harta musnah, namun kenikmatan yang agung tetap ada pada kita. Yaitu kenikmatan iman dan kenikmatan Islam, sebagaimana yang Allahl firmankan:

Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu." (Al-Maidah:3)


Diambil dari Buletin Asy-Syariah edisi perdana (I/1). Diterbitkan oleh Pemerintah Kabupaten Bantul bekerja sama Yayasan Asy-Syariah. Alamat Redaksi: Posko Tim Peduli Musibah Asy-Syariah. RT06 /RW 46 Dagaran Jurug Bangunharjo Sewon Bantul Telp 0274-7406120


)* Beliau adalah pengajar di Pondok Pesantren Ar-Ridho, Sewon Bantul. Beliau adalah alumni Ma'had Darul Hadits Dammaj Yaman, murid dari Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi'I dan Asy-Syaikh Yahya bin Ali Al-Hajuri.

Dikutip dari mailing list artikel_salafy@yahoogroups.com kiriman dari al akh wira via email


http://www.darussalaf.or.id/stories.php?id=268

Mengapa Masalah Celana Perlu Dibahas?

oleh: Muhammad Abduh Tuasikal
===========================================

Sebagai penutup dari pembahasan isbal, kami akan membawakan sebuah kisah yang menceritakan sangat perhatiannya salaf (shahabat) dengan masalah celana di atas mata kaki, sampai-sampai di ujung kematian masih memperingatkan hal ini.

Dalam shohih Bukhari dan shohih Ibnu Hibban, dikisahkan mengenai kematian Umar bin Al Khaththab setelah dibunuh seseorang ketika shalat. Lalu orang-orang mendatanginya di saat menjelang kematiannya. Lalu datanglah pula seorang pemuda. Setelah Umar ngobrol sebentar dengannya, ketika dia beranjak pergi, terlihat pakaiannya menyeret tanah (dalam keadaan isbal). Lalu Umar berkata,
رُدُّوا عَلَىَّ الْغُلاَمَ
“Panggil pemuda tadi!” Lalu Umar berkata,

ابْنَ أَخِى ارْفَعْ ثَوْبَكَ ، فَإِنَّهُ أَبْقَى لِثَوْبِكَ وَأَتْقَى لِرَبِّكَ ،
“Wahai anak saudaraku. Tinggikanlah pakaianmu! Sesungguhnya itu akan lebih mengawetkan pakaianmu dan akan lebih bertakwa kepada Rabbmu.”

Jadi, masalah isbal (celana menyeret tanah) adalah perkara yang amat penting. Jika ada yang mengatakan ‘kok masalah celana saja dipermasalahkan?’ Maka cukup kisah ini sebagai jawabannya. Kita menekankan masalah ini karena salaf (shahabat) juga menekankannya. -Semoga kita dimudahkan dalam melaksanakan ketaatan kepada Allah-
Semoga tulisan ini bermanfaat bagi kaum muslimin. Semoga Allah selalu memberikan ilmu yang bermanfaat, rizki yang thoyib, dan menjadikan amalan kita diterima di sisi-Nya. Innahu sami’un qoriibum mujibud da’awaat. Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat, wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi wa sallam.


http://rumaysho.wordpress.com/2009/02/24/mengapa-masalah-celana-perlu-dibahas/#more-458

Hukum Memakai Kain Di Bawah Mata Kaki (Isbal)

oleh: Syaikh Abdullah ibn Jurullah al Jurullah Rahimahullah
=================================================
Muqoddimah

Segala Puji Bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala Rabb semesta alam. Aku bersaksi tiada yang berhak diibadahi selain Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak ada sekutu bagi-Nya. Dan Aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan shalawat kepada beliau, keluarganya, sahabatnya dan orang yang mengikuti sunnah-sunnah beliau serta orang yang mendapatkan hidayah dengan bimbingan beliau hingga hari akhir.

Setelah itu, merupakan suatu kewajiban bagi muslimin untuk mencintai Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam, menta'ati beliau dengan melaksanakan perintah-perintahnya dan menjauhi larangan-larangannya serta membenarkan berita yang dibawa beliau. Itu semua bisa menunjukkan realisasi Syahadat Laa ilaha ila Allah dan Muhammad Rasulullah. Dengan itu dia bisa mendapatkan pahala dan selamat dari hukuman Allah Subhanahu wa Ta'ala.

Tanda dan bukti hal itu adalah dengan terus komitmen melaksanakan simbol-simbol Islam, dalam bentuk perintah, larangan, penerangan, ucapan, keyakinan maupun amalan. Dan hendaklah dia mengatakan : “sami'na wa atha'na (kami mendengar dan taat)”.

Diantara hal itu adalah membiarkan jenggot (tidak mencukurnya) dan memendekkan pakaian sebatas kedua mata kaki yang dilakukan karena ta'at kepada Allah Subhanahu Wa Ta'ala dan Rasul-Nya serta mengharapkan pahala dari Allah Subhanahu wa Ta'ala dan takut pada hukumanNya.

Kalau kita mau memeperhatikan kebanyakan orang ? semoga Allah Subhanahu wa Ta'ala memberi hidayah kepada mereka dan membimbing mereka kepada kebenaran ? akan didapati mereka melakukan perbuatan Isbal (menurunkan pekaian di bawah mata kaki) pada pakaian dan bahkan sampai terseret di atas tanah. Itu adalah perbuatan yang mengandung bahaya besar, karena menentang perintah Allah Subhanahu Wa Ta'ala dan Rasul-Nya dan itu adalah sikap menantang, pelakunya akan mendapat ancaman keras.

Isbal dianggap salah satu dosa besar yang diancam dengan ancaman yang keras. Beranjak dari kewajiban untuk saling tolong menolong dalam kebaikan dan taqwa, saling nasehat menasehati dengan kebenaran, menginginkan agar saudara-saudaraku kaum muslimin mendapat kebaikan dan karena takut kalau mereka tertimpa hukuman yang buruk akibat mayoritas orang melakukan maksiat.

Saya kumpulkan risalah ini berkaitan dengan tema Isbal dan berisi anjuran untuk memendekkan pakaian hingga diatas kedua mata kaki bagi pria serta berisi ancaman bagi yang melakukan Isbal dan memanjangkan melewati mata kaki.

Larangan untuk melakukan Isbal adalah larangan yang bersifat umum,apakah karena sombong atau tidak. Itu sama saja dengan keumuman nash. Tapi, bila dilakukan karena sombong maka hal itu lebih keras lagi kadar keharamannya dan lebih besar dosanya .

Isbal adalah suatu lambang kesombongan dan orang yang memiiki rasa sombong dalam hatinya walaupun seberat biji dzarrah tidak akan masuk surga, sebagaimana yang diterangkan dalam hadist yang diriwayatkan oleh Imam Muslim.

Maka wajib bagi seorang muslim untuk menyerah dan tunduk dan mendengar dan taat kepada perintah Allah Subhanahu wa Ta'ala dan Rasulullah sebelum kematian datang menunjunginya, bila samapai demikian ia akan menemukan ancaman yang dulu telah disampaikan kepadanya. Ketika itu dia menyesal dan tidak ada manfaat penyesalan di waktu itu.

Wajib baginya untuk bertaubat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dari maksiat isbal (memanjangkan celana) dan maksiat lainnya. Hendaklah ia memendekkan pakaiannya di atas kedua mata kaki dan menyesali apa yang telah dia lakukan selama hidupnya.

Dan hendaklah ia bertekad dengan sungguh-sungguh untuk tidak mengulangi maksiat-maksiat di sisa umurnya yang singkat ini. Allah Subhanahu wa Ta’ala akan menerima taubat bagi orang yang mau bertaubat. Seorang yang bertaubat dari suatu dosa seperti orang yang tidak memiliki dosa.

Risalah ini diambil dari ayat Allah Subhanahu wa Ta'ala dan sabda Rasulullah serta ucapan para peneliti dari kalangan Ulama. Saya mohon kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala agar ia memberi manfaat risalah ini kepada penulisnya, atau pencetaknya, atau pembacanya, atau pendengarnya. Dan saya memohon kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala agar ia menjadikan amalan ini ikhlas untuk mengharap waahnya yang mulia dan menjadi sebab untuk mencari kebahagian sorga yang nikmat.

Dan saya berharap agar Allah Subhanahu wa Ta’ala memberi hidayah kepada Muslim yang masih melakukan Isbal pada pakaian mereka unuk melaksanakan sunnah Nabi mereka, Muhammad Ibn Abdullah, yaitu dengan memendekkannya. Dan saya berharap agar Allah Subhanahu wa Ta'ala menjadikan mereka sebagai orang orang yang membimbing lagi mendapatkan hidayah. Semoga salawat dan salam tercurah pada Nabi kita, Muhammad, keluarganya, dan sahabatnya dan segala puji hanya bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala Rabb Semesta alam.

LARANGAN MELAKUKAN ISBAL PADA PAKAIAN

Segala puji bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala yang telah memberikan nikmat kepada para hambanya berupa pakaian yang menutup aurat-aurat mereka dan memperindah bentuk mereka.

Dan ia telah menganjurkan untuk memakai pakaian takwa dan mengabarkan bahwa itu adalah sebaik-baiknya pakaian.

Saya bersaksi tidak ada yang diibadahi selain Allah Subhanahu wa Ta’ala yang maha Esa. Tiada sekutu baginya miliknya segenap kekuasan di langit dan di bumi dan kepadanya kembali segenap makhluk di hari Akhir. Dan saya bersaksi bahwa Muhammad itu ialah utusan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dan tidak ada satupun kebaikan kecuali telah diajarkan beliau kepada ummatnya. Dan tidak ada suatu kejahatan kecuali telah diperingatkan beliau kepada ummatnya agar jangan mlakukannya. Semuga Shalawat serta Salam tercurah kepada beliau, keluarganya, dan para sahabatnya dan orang yang berjalan di atas manhaj Beliau dan berpegang kepda sunnah beliau.

"Wahai kaum muslimin, bertakwalah kalian kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala ta'ala. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman : " Wahai anak Adam, sesungguhnya Kami telah menurunkan kepada kalian pakaian untuk menutupi aurat kalian dan pakaian indah itu perhiasan. Dan pakaian taqwa itulah yang paling baik. Yang demikian itu adalah sebagian dari tanda kebesaran Allah Subhanahu wa Ta’ala mudah mudahan mereka selalu ingat." (QS Al A'raf -26)

Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan nikmat kepada para hambaNya berupa pakaian dan keindahan. Dan pakaian yang dimaksudkan oleh ayat ini ialah pakaian yang menutupi aurat. Dan ar riisy yang dimaksud ayat ini adalah memperindah secara dlohir. maka pakaian adalah suatu kebutukan yang penting, sedangkan ar riisy adalah kebutuhan pelengkap.

Imam Ahmad meriwatkan dalam musnadnya, beliau berkata :

Abu Umamah pernah memakai pakaian baru, ketika pakaian itu lusuh ia berkata : “Segala puji bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala yang telah memberikan pakai ini kepadaku guna menutupi auratku dan memperindah diriku dalam kehidupanku”, kemudian ia berkata : aku mendengar Umar Ibn Khattab berkata : Rasulullah bersabda : "Siapa yang mendapatkan pakaian baru kemudian memakainya. Dan kemudian telah lusuh ia berkata segala puji bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala yang telah memberikan pakaian ini kepadaku guna menutupi auratku dan memperindah diriku dalam kehidupanku dan mengambil pakaian yang lusuh dan menyedekahkannya, dia berada dalam pengawasan dan lindungan dan hijab Allah Subhanahu wa Ta’ala, hidup dan matinya.” (HR Ahmad, Tirmidzi dan Ibn Majah. Dan Turmudzi berkata hadis ini gharib )

Ketika Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memberikan pakaian tubuh yang digunakan untuk menutup aurat, membalut tubuh dan memperindah bentuk, Allah Subhanahu wa Ta’ala memperingatkan bahwa ada pakaian yang lebih bagus dan lebih banyak faedahnya yaitu pakaian taqwa. Yang pakaian taqwa itu ialah menghiasi diri dengan berbagai keutamaan-keutamaan.

Dan membersihkan dari berbagai kotoran. Dan pakaian taqwa adalah tujuan yang dimaukan. Dan siapa yang tidak memakai pakaian taqwa, tidak manfaat pakaian yang melekat di tubuhnya.

Bila seseorang tidak memakai pakaian taqwa, berarti ia telanjang walaupun ia berpakaian

Maksudnya :

Pakaian yang disebut tadi adalah agar kalian agar mengingat nikmat Allah Subhanahu Wa Ta'ala dan menyukurinya. Dan hendaknya kalian ingat bagaimana kalian butuh kepada pakaian dhahir dan bagaimana kalian butuh kepada pakaian batin. Dan kalian tahu faedah pakaian batin yang tidak lain adalah pakaian taqwa.

Wahai para hamba Allah Subhanahu wa Ta’ala, sesungguhnya pakaian adalah salah satu nikmat Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada para hambanya yang wajib disyukuri dan dipuji. Dan pakaian itu memiliki beberapa hukum syariat yang wajib diketahui dan diterapkan. Para pria memiliki pakaian khusus dalam segi jenis dan bentuk.

Wanita juga memiliki pakaian khusus dalam segi jenis dan bentuk. Tidak boleh salah satunya memakai pakaian yang lain. Karena Allah Subhanahu wa Ta’ala telah melaknat laki-laki yang meniru wanita dan wanita yang meniru laki laki.(HR Bukhari, Abu Daud, Turmudzi dan Nasa'i).

Dan Nabi juga bersabda : "Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala melaknat wanita yang memakai pakaian laki-laki dan laki-laki yang memakai pakaian wanita."( HR Ahmad, Abu Daud, Nasa'I, Ibnu Majah, dan Ibnu Hiban dan beliau mensahihkannya, serta Al Hakim, beliau berkata : Hadits ini shahih menurut syarat Muslim).

Haram bagi pria untuk melakukan Isbal pada sarung, pakian, dan celana. Dan ini termasuk dari dosa besar.

Isbal adalah menurunkan pakaian di bawah mata kaki. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman : "Dan janganlah engkau berjalan diats muka bumi ini dengan sombong, karna sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak suka kepada setiap orang yang sombong lagi angkuh."( Luqman: 18 )

Dari Umar Radiyallahu ‘anhu, ia berkata : Rasullulah SHALALLAHU ‘ALAIHI WASSALAM bersabda :

"Siapa yang menyeret pakaiannya karena sombong, Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak akan melihatnya di hari kiamat." ( HR Bukhari dan yang lainnya ).

Dan dari Ibnu umar juga, Nabi bersabda :
"Isbal berlaku bagi sarung, gamis, dan sorban. Barang siapa yang menurunkan pakaiannya karena sombong, tidak akan dilihat oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala di hari kiamat." ( Hr Abu Daud, Nasa'i, dan Ibnu Majah. Dan hadits ini adalah hadits yang sahih ).

Dari Abu Hurairah, dari Nabi Shalallahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda :

"Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak akan melihat orang yang menyeret sarungnya karena sombong". (Muttafaq 'alaihi)

Dalam riwayat Imam Ahmad dan Bukhari dengan bunyi :

“Apa saja yang berada di bawah mata kaki berupa sarung, maka tempatnya di Neraka."

Rasullullah Shalallahu ‘alaihi Wassalam bersabda :
"Ada tiga golongan yang tidak akan diajak bicara oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala di hari kiamat. Tidak dilihat dan dibesihkan (dalam dosa) serta akan mendapatkan azab yang pedih, yaitu seseorang yang melakukan isbal (musbil), pengungkit pemberian, dan orang yang menjual barang dagangannya dengan sumpah palsu." (Hr Muslim, Abu Daud, Turmudzi, Nasa'i, dan Ibnu Majah)

Wahai para hamba Allah Subhanahu wa Ta’ala, dalam keadaan kita mengetahi ancaman keras bagi pelaku Isbal, kita lihat sebagian kaum muslimin tidak mengacuhkan masalah ini. Dia membiarkan pakaiannya atau celananya turun melewati kedua mata kaki. Bahkan kadang-kadang sampai menyapu tanah. Ini adalah merupakan kemungkaran yang jelas. Dan ini merupakan keharaman yang menjijikan. Dan merupakan salah satu dosa yang besar. Maka wajib bagi orang yang melakukan hal itu untuk segera bertaubat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan juga segera menaikkan pakaiannya kepada sifat yang disyari'atkan.

Rasullullah Shalallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

"Sarung seorang mukmin sebatas pertengahan kedua betisnya. Tidak mengapa ia menurunkan dibawah itu selama tidak menutupi kedua mata kaki. Dan yang berada dibawah mata kaki tempatnya di neraka. (HR Malik dalam Muwaththa' ,dan Abu Daud dengan sanad yang sahih)



Ada juga pihak yang selain pelaku Isbal, yaitu orang-orang yang menaikan pakaian mereka di atas kedua lututnya, sehingga tampak paha-paha mereka dan sebagainya, sebagaimana yang dilakukan klub-klub olahraga, di lapangan-lapangan ?. Dan ini juga dilakukan oleh sebagian karyawan.

Kedua paha adalah aurat yang wajib ditutupi dan haram dibuka. Dari 'Ali Radiyallahu ‘anhu, ia berkata : Rasullullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

"Jangan engkau singkap kedua pahamu dan jangan melihat paha orang yang masih hidup dan juga yang telah mati." (HR Abu Daud, Ibnu Majah, dan Al Hakim. Al Arnauth berkata dalam Jami'il Ushul5 / 451: "sanadnya hasan")

Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan manfaat kepadaku dan anda sekalian melalui hidayah kitab-Nya. Dan semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan kita termasuk orang-orang yang mendengarkan ucapan yang benar kejadian mengikutinya. Allah Subhanahu wa Ta’ala Ta'ala berfirman :

"Apa yang diberikan Rasul kepada kalian, maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagi kalian, maka tinggalkanlah; dan bertaqwalah kalian kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala sangat keras hukuman-Nya (Al Hasyr :7 )

HUKUM MENURUNKAN PAKAIAN ( ISBAL ) BAGI PRIA

Rasulullah bersabda :

"Apa yang ada di bawah kedua mata kaki berupa sarung (kain) maka tempatnya di neraka" (HR.Bukhori)

Dan beliau berkata lagi ;

"Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak akan melihat orang yang menyeret sarungnya karena sombong".

dan dalam sebuah riwayat yang berbunyi :

"Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak akan melihat di hari kiamat kepada orang-orang yang menyeret pakaiannya karena sombong." (HR. Malik, Bukhari, dan Muslim)

dan beliau juga bersabda :

" Ada3 golongan yang tidak akan dilihat oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala di hari kiamat, tidak dilihat dan tidak disucikan ( dari dosa) serta mendapatkan azab yang sangat pedih, yaitu pelaku Isbal (musbil), pengungkit pemberian dan orang yang menjual barang dagangannya dengan sumpah palsu." (HR. Muslim, Ibn Majah, Tirmidzi, Nasa'i).

Musbil (pelaku Isbal) adalah seseorang yang menurunkan sarung atau celananya kemudian melewati kedua mata kakinya. Dan Al mannan yang tersebut pada hadist di atas adalah orang yang mengungkit apa yang telah ia berikan. Dan orang yang menjual barang dagangannya dengan sumpah palsu adalah seseorang yang dengan sumpah palsu ia mempromosikan dagangannya. Dia bersumpah bahwa barang yang ia beli itu dengan harga sekian atau dinamai dengan ini atau dia menjual dengan harga sekian padahal sebenarnya ia berdusta. Dia bertujuan untuk melariskan dagangannya.

Dalam sebuah hadist yang berbunyi :

"Ketika seseorang berjalan dengan memakai prhiasan yang membuat dirinya bangga dan bersikap angkuh dalam langkahnya, Allah Subhanahu wa Ta’ala akan melipatnya dengan bumi kemudian dia terbenam di dalamya hingga hari kiamat. (HR. Mutafaqqun 'Alaihi)

Rasulullah bersabda :

" Isbal berlaku pada sarung, gamis, sorban. Siapa yang menurunkan sedikit saja karena sombong tidak akan dilihat Allah Subhanahu wa Ta’ala pada hari kiamat." (HR Abu Dawud dengan sanad Shohih).

Hadist ini bersifat umum. Mencakup pakaian celana dan yang lainnya yang yang masih tergolong pakaian. Rasulallah Shallallahu ‘alaihi wassalam mengabarkan dengan sabdanya ;

" Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak menerima shalat seseorang yang melakukan Isbal." (HR. Abu Dawud dengan sanad yang shahih. Imam Nawawi mengatakan di dalam Riyadlush Sholihin dengan tahqiq Al Anauth hal:358 )

Melalui hadist-hadist Nabi yang mulia tadi menyatakan bahwa menurunkan pakaian di bawah kedua mata kaki dianggap sebagai suatu perkara yang haram dan salah satu dosa besar yang mendapatkan ancaman keras berupa neraka. Memendekkan pakaian hingga setengah betis lebih bersih dan lebih suci dari kotoran kotoran . Dan itu juga merupakan sifat yang lebih bertakwa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala .
Oleh karena itu, wajib bagimu… wahai saudaraku muslimin…, untuk memendekkan pakaianmu diatas kedua mata kaki karena taat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan mengharapkan pahala-Nya dengan mentaati Rasullullah .

Dan juga kamu melakukannya karena takut akan hukuman Allah Subhanahu wa Ta’ala dan mengharapkan pahala-Nya. Agar engkau menjadi panutan yang baik bagi orang lain. Maka segeralah bertaubat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan melakkukan taubat nasuha (bersungguh-sungguh) dengan terus melaksanakan ketaatan kepada-Nya. Dan hendaknya engkau telah menyesal atas apa yang kau perbuat.

Hendaknya engkau sungguh-sungguh tidak untuk tidak megulangi perbuatan maksiat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dimasa mendatang, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala menerima taubat orang yang mau bertaubat kepada-Nya, karena ia maha Penerima Taubat lagi maha Penyayang.

"Ya Allah Subhanahu wa Ta’ala, terimalah taubat kami, sungguhnya engkau maha Penerima Taubat lagi maha Penyayang."

"Ya Allah Subhanahu wa Ta’ala berilah kami dan semua saudara saudara kami kaum muslimin bimbingan untuk menuju apa yang engkau ridloi, karena sesungguh-Nya engkau maha Kuasa terhadap segala sesuatu. Dan semoga shalawat serta salam tercurahkan kepada Muhammad, keluarganya dan sahabatnya."

BEBERAPA FATWA TENTANG HUKUMNYA MEMANJANGKAN PAKAIAN KARENA SOMBONG DAN TIDAK SOMBONG

Pertanyaan :
Apakah hukumnya memanjangkan pakaian jika dilakukan karena sombong atau karena tidak sombong. Dan apa hukum jika seseorang terpaksa melakukakannya, apakah karena paksaan keluarga atau karena dia kecil atau karena udah menjadi kebiasaan ?

Jawab :

Hukumnya haram sebagaimana sabda Nabi :

"Apa yang di bawah kedua mata kaki berupa sarung maka tempatnya di Neraka " (HR.Bukhari dalam sahihnya )

Imam Muslim meriwayatkan dalam shahih Abu Dzar ia berkata: Rasulullah bersabda: " Ada 3 golongan yang tidak akan dilihat oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala di hari Kiamat, tidak dilihat dan tidak disucikan (dari dosa) serta mendapatkan azab yang sangat pedih, yaitu pelaku Isbal (musbil), pengungkit pemberian dan orang yang menjual barang dagangannya dengan sumpah palsu." ( HR. Muslim, Ibn Majah, Tirmidzi, Nasa'i).

Kedua hadist ini semakna dengan mencakup musbil yang sombong atau karena sebab lain. Karena Rasulullah mengucapkan dengan bentuk umum tanpa mengkhususkan . Kalau ia melakukan karena sombong maka dosa yang ia lakukan akan lebih besar lagi dan ancamannya lebih keras, Rasulullah bersabda :"Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak akan melihat orang yang menyeret sarungnya karena sombong". (Muttafaq 'alaihi)

Tidak boleh menganggap bahwa larangan melakukan Isbal itu hanya karena sombong saja, karena rasullullah tidak memberikan pengecualian hal itu dalam kedua hadist yang telah kita sebutkan tadi, sebagaiman juga beliau tidak memberikan pengecualian dalam hadist yang lain, Rasul bersabda : "Jauhilah olehmu Isbal, karena ia termasuk perbuaan yang sombong" (HR Abu Daud, Turmudzi dengan sanad yang shahih).

Beliau menjadikan semua perbuatan Isbal termasuk kesombongan karena secara umum perbuatan itu tidak dilakukan kecuali memang demikian. Siapa yang melakukannya tanpa diiringi rasa sombong maka perbuatannya bisa menjadi perantara menuju kesana. Dan perantara dihukumi sama dengan tujuan . dan semua perbuatan itu adalah perbuatan berlebihan lebihan dan mengancam terkena najis dan kotoran.

Oleh karena itu Umar Ibn Khatab melihat seorang pemuda berjalan dalam keadaan pakaiannya menyeret di tanah, ia berkata kepadanya : "Angkatlah pakaianmu, karena hal itu adalah sikap yang lebih taqwa kepada Rabbmu dan lebih suci bagi pakaianmu ( Riwayat Bukhari lihat juga dalam al Muntaqo min Akhbaril Musthafa2 / 451)

Adapun Ucapan Nabi kepada Abu Bakar As Shiddiq ketika ia berkata :

"Wahai Rasulullah, sarungku sering melorot (lepas ke bawah) kecuali aku benar-benar menjaganya. Maka beliau bersabda :"Engkau tidak termasuk golongan yang melakukan itu karena sombong." (Muttafaq ‘alaih).

Yang dimaksudkan oleh oleh Rasulullah bahwa orang yang benar-benar menjaga pakaiannya bila melorot kemudian menaikkannya kembali tidak termasuk golongan orang yang menyeret pakaiannya karena sombong. Karena dia (yang benar-benar menjaga ) tidak melakukan Isbal. Tapi pakaian itu melorot (turun tanpa sengaja) kemudian dinaikkannya kembali dan menjaganya benar-benar. Tidak diragukan lagi ini adalah perbuatan yang dimaafkan.

Adapun orang yang menurunkannya dengan sengaja, apakah dalam bentuk celana atau sarung atau gamis, maka ini termasuk dalam golongan orang yang mendapat ancaman, bukan yang mendapatkan kemaafan ketika pakaiaannya turun. Karena hadits-hadits shahih yang melarang melakukan Isbal besifat umum dari segi teks, makna dan maksud.

Maka wajib bagi setiap muslim untuk berhati-hati terhadap Isbal. Dan hendaknya dia takut kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala ketika melakukannya. Dan janganlah dia menurunkan pakaiannya di bawah mata kaki dengan mengamalkan hadits-hadits yang shahih ini. Dan hendaknya juga itu dilakukan karena takut kepada kemurkaan Alllah dan hukuman-Nya. Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah sebaik-baik pemberi taufiq. (Fatwa Syaikh Abdul Aziz Ibn Abdullah Ibn Bazz dinukil dari Majalah Ad Da'wah hal218 ).

TIDAK BOLEH MELAKUKAN ISBAL SAMA SEKALI

Pertanyaan:

Bila seeorang melakukan Isbal pada pakaiannya tanpa diiringi rasa sombong dan angkuh, apakah itu juga diharamkan baginya? Dan apaakah hukum Isbal itu juga berlaku pada lengan pakaian?
Jawab:

Isbal tidak boleh dilakukan secara mutlak berdasarkan sabda Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam : "Apa yang berada di bawah mata kaki berupa sarung, maka itu tempatnya di neraka." (HR Bukhari dalam shahihnya)

Dan juga karena sabda Rasulullah Shalallahu 'alaihi wasallam dalam hadits yang diriwayatkan dari Jabir Ibn Sulaim: "Jauhilah Isbal olehmu, karena itu tergolong kesombongan." (HR Abu Daud dan Turmudzi dengan sanad yang shahih)

Dan juga karena sabda Rasulullah Shalallahu 'alaihi wasallam yang tsabit dari beliau:

"Ada tiga golongan yang tidak akan diajak bicara oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala pada hari kiamat, tidak dilihat dan tidak disucikan dari dosa serta mereka akan mendapat aazab yang sangat pedih, yaitu pelaku Isbal, pengungkit pemberian dan orang yang menjual barang dagangannya dengan sumpah palsu." (HR Muslim dalam shahihnya)

Tidak ada beda apakah dia melakukan karena sombang atau tidak. Itu berdasarkan keumuman banyak hadits. Dan juga karena secara keumuman itu dilakukan karena sombong dan angkuh, walau dia tidak bermaksud demikian. Perbuataannya adaalah perantara menuju kesombongan dan keangkuhan.
Dan dalam perbuatan itu juga ada mengandung unsur meniru wanita dan mempermudah pakaian dikenai kotoran dan najis. Serta perbuatan itu juga menunjukkan sikap berlebih-lebihan. Siapa yang melakukannya karena sombong, maka dosanya lebih besar. Berdasarkan sabda Rasulullah Shalallahu 'alaihi wasallam : "Siapa yang menyeret pakaiannya karena sombong, Allah tidak akan melihatnya di hari kiamat." (HR Bukhari dan Muslim)

Adapun sabda Nabi Shalallahu 'alaihi wasallam kepada Abu Bakar Ash Shiddiq Radliyallah'anhu ketika dia mengatakan kepada beliau bahwaa sarungnya sering melorot kecuali kalau dia benar-benar menjaganya:

"Sesungguhnya engkau tidak termasuk orang yang melakukannya karena sombong."(HR Bukhari dan Muslim)

Ini adalah bantahan bagi orang yang melakukannya, tapi berdalil dengan apa yang dilakukan Abu Bakar Ash Shiddiq. Bila dia memang benar-benar menjaganya dan tidak sengaja membiarkannya, itu tidak mengapa.



Adapun lengan baju, maka sunnahnya tidak melewati pergelangan?Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah sebaik-baik pemberi taufiq.(dari sumber yang sama hal.220)

HUKUM MEMANJANGKAN CELANA

Pertanyaan:
Sebagian orang ada yang memendekkan pakaiannya di atas kedua mata kaki, tapi celananya tetap panjang. Apa hukum hal itu?
Jawab:

Isbal adalah perbuatan haram dan mungkar, sama saja apakah hal itu terjadi pada gamis atau sarung. Dan Isbal adalah yang melewati kedua mata kaki berdasarkan sabda Rasulullah Shalallahu 'alaihi wasallam

"Apa yang di bawah kedua mata kaki berupa sarung, maka tempatnya di neraka." (HR Bukhari)

Dan beliau Shalallahu 'alaihi wasallam juga bersabda: "Ada tiga golongan yang tidak akan diajak bicara oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala pada hari kiamat, tidak dilihat dan tidak disucikan dari dosa serta mereka akan mendapat aazab yang sangat pedih, yaitu pelaku Isbal, pengungkit pemberian dan orang yang menjual barang dagangannya dengan sumpah palsu." (HR Muslim dalam shahihnya)

Beliau juga bersabda kepaada sebagian para sahabatnya: "Jauhilah Isbal olehmu, karena itu termasuk kesombongan." (HR Abu Daud dan Turmudzi dengan sanad yang shahih)

Hadits-hadits ini menunjukkan bahwa Isbal termasuk salah satu dosa besar, walau pelakunya mengira bahwa dia tidak bermaksud sombong ketika melakukannya, berdasarkan keumumannya. Adapun orang yang melakukannya karena sombong, maka dosanya lebih besar berdasarkan sabda Rasulullah Shalallahu 'alaihi wasallam :

"Siapa yang menyeret pakaiannya karena sombong, Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak akan melihatnya di hari kiamat." (HR Bukhari dan Muslim)

Karena perbuatan itu menggabung antara Isbal dan kesombongan. Kita mengharap kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala agar Dia memberi keampunan. Adapun ucapan Nabi Shalallaahu 'alaihi wa sallam kepada Abu Bakr ketika dia berkata kepada Beliau:

" Wahai Rasulullah Shalallahu 'alaihi wasallam, sarungku sering turun kecuali kalau aku benar-benar menjaganya." Maka Nabi Shallallaahu 'alaihi wa sallam berkata kepadanya:" Engkau tidak termasuk orang yang melakukan hal itu karena sombong." (HR Bukhari dan Muslim)

Hadits ini tidak menunjukkan bahwa Isbal boleh dilakukan bagi orang yang tidak karena sombong. Tapi hadits ini menujukkan bahwa orang yang sarungnya atau celananya melorot tanpa maksud sombong kemudian dia benar-benar menjaganya dan membetulkannya tidak berdosa. Adapun menurunkan celana di bawah kedua mata kaki yang dilakukan sebagian orang adalah perbuatan yang dilarang. Dan yang sesusai dengan sunnah adalah hendaknya gamis atau yang sejenisnya, ujungnya berada antara setengah betis sampai mata kaki dengan mengamalkan semua hadits-hadits tadi. Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah sebaik-baik pemberi taufiq (Dari sumber yang sama hal. 221).

Pertanyaan :
Apakah menurunkan pakaian melewati kedua matakaki (Isbal) bila dilakukan tanpa sombong didanggap suatu yang haram atau tidak ?

Jawab :

Menurunkan pakaian di bawah kedua mata kaki bagi pria adalah perkara yang haram. Apakah itu karena sombong atau tidak. Akan tetapi jika dia melakukannya karena sombong maka dosanya lebih besar dan keras, berdasarkan hadist yang tsabi dari Abu Dzar dalam Shahih Muslim, bahwa Rasulullah bersabda :

"Ada tiga golongan yang tidak akan diajak bicara oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala di hari kiamat, tidak dibersihkan dari dosa serta mereka akan mendapatkan azab yang pedih."

Abu Dzarr berkata : "Alangkah rugi dan bangkrutnya mereka ya Rasulullah Shalallahu ‘alaihi Wassalam ! Beliau berkata: "(Mereka adalah pelaku Isbal, pengungkit pemberian dan orang yang menjual barangnya dengan sumpah palsu" ( HR Muslim dan Ashabus Sunan)

Hadis ini adalah hadist yang mutlak akan tetapi dirinci dengan hadist Ibnu umar, dari Nabi Shalallahu 'alaihi wasallam, beliau bersada :

"Siapa yang menyeret pakaiannya karena sombong tidak akan dilihat oleh Allah Subhanahu wa ta’ala pada hari kiamat."(HR Bukhari)

Kemutlakan pada hadist Abu Dzar dirinci oleh hadist Ibnu Umar, jika dia melakukan karena sombong Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak akan melihatnya, membersihkannya dan dia akan mendapatkan azab sangat pedih. Hukuman ini lebih berat dari pada hukuman bagi orang yang tidak menurunkan pakaian tanpa sombong. Karena Nabi berkata tentang kelompok ini dengan:

"Apa yang berada dibawah kedua mata kaki berupa sarung maka tempatnya di neraka" (HR Bukhari dan Ahmad)

Ketika kedua hukuman ini berbeda, tidak bisa membawa makna yang mutlak kepada pengecualian, karena kaidah yang membolehkan untuk megecualikan yang mutlak adalah dengan syarat bila kedua nash sama dari segi hukum.

Adapun bila hukum berbeda maka tidak bisa salah satunya dikecualaikan dengan yang lain. Oleh karena ini ayat tayammum yang berbunyi :

"Maka sapulah wajah-wajah kalian dan tangan-tangan kalian dengan tanah itu." (Al Maidah :6).

Tidak bisa kita kecualikan dengan ayat wudlu yang berbunyi :

"Maka basuhlah wajah wajah kalian dan tangan tangan kalian sampai siku. ( Al Maidah :6 ).

Maka kita tidak boleh melakukan tayammum sampai kesiku. Itu diriwayatkan oleh Malik dan yang lainnya dari dari Abu Said Al Khudri bahwa Nabi bersabda :

"Sarung seseorang mukmin sampai setengah betisnya. Dan apa yang berada dibawah mata kaki, maka tempatnya di neraka. Dan siapa yang menyeret pakaiannya karena sombong maka Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak akan melihatnya."

Disini Nabi menyebutkan dua contoh dalam hukum kedua hal itu , karena memang hukum keduanya berbeda. Keduanya berbeda dalam perbuatan, maka juga berbeda dalam hukum. Dengan ini jelas kekeliruan dan yang mengecualikan sabda Rasulullah ;

"Apa yang dibawah mata kaki tempatnya dineraka."

Dengan sabda beliau :

"Siapa yang menyeret pakaiannya karena sombong, tidak akan dilihat oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala."

Memang ada sebagian orang yang bila ditegur perbuatan Isbal yang dilakukannya, dia berkata: Saya tidak melakuakan hal ini karena sombong .

Maka kita katakan kepada orang ini : Isbal ada dua jenis, yaitu jenis hukumnnya ; adalah bila seseorang melakukannya karena sombong maka dia tidak akan diajak bicara oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan mendapatkan siksa yang sangat pedih. berbeda dengan orang yang melakukan Isbal tidak karena sombong. orang ini akan mendapatkan adzab, tetapi ia masih di ajak bicara, dilihat dan dibersihkan dosanya. Demikian kita katakan kepadanya. (diambil dari As'ilah Muhimmah Syaikh Muhammad Ibn Soleh Utsaimin)

(Dinukil dari kitab Tadzkiirusy Syabaab bimaa Jaa’a Fii Isbalits Tsiyab, Edisi Indonesia “Hukum Isbal” diterjemahkan oleh Al Ustadz Ali Ishmah al Maidani - Penerbit Adz Dzahabi Medan)


http://www.darussalaf.or.id/stories.php?id=45

Sutrah dalam Shalat

oleh: Al-Ustadz Muslim Abu Ishaq Al-Atsari
=============================================
Pengertian Sutrah
Sutrah adalah sesuatu yang dijadikan sebagai penghalang, apa pun bentuk/jenisnya. Sutrah orang yang shalat adalah apa yang ditancapkan dan dipancangkan di hadapannya berupa tongkat atau yang lainnya ketika hendak mendirikan shalat atau sesuatu yang sudah tegak dengan sendirinya yang sudah ada di hadapannya, seperti dinding atau tiang, guna mencegah orang yang hendak berlalu-lalang di depannya saat ia sedang shalat. Sutrah harus ada di hadapan orang yang sedang shalat karena dengan shalatnya berarti ia sedang bermunajat kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Sehingga, bila ada sesuatu yang lewat di hadapannya akan memutus munajat tersebut serta mengganggu hubungan ia dengan Allah Subhanahu wa Ta'ala dalam shalatnya. Oleh sebab itu, siapa yang sengaja lewat di depan orang shalat, ia telah melakukan dosa yang besar. (Al-Mausu’atul Fiqhiyah, 24/178, Al-Fiqhul Islami wa Adillatuh, 2/939, Taudhihul Ahkam, 2/58)

Hukum Sutrah
Hukum sutrah diperselisihkan oleh ahlul ilmi, antara yang berpendapat wajib dengan yang berpendapat sunnah. Jumhur ulama berpendapat hukumnya sunnah, sehingga berdasarkan pendapat ini bila ada yang lewat di hadapan orang yang shalat sementara tidak ada sutrah di hadapannya tidaklah membatalkan shalatnya1, namun hanya mengurangi (nilai) shalatnya. Di samping itu, sutrah merupakan penyempurna shalat yang dikerjakan, ia tidak masuk dalam amalan shalat. Dengan begitu, hal ini merupakan indikasi (qarinah) yang mengeluarkan perkaranya dari wajib kepada mustahab. (Asy-Syarhul Mumti’1/728, Al-Fiqhul Islami wa Adillatuh, 2/939-940, Taudhihul Ahkam, 2/58).
Pendapat jumhur ini berdalil dengan:
- Hadits Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu 'anhu secara marfu’:
إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ إِلَى شَيْءٍ يَسْتُرُهُ مِنَ النَّاسِ، فَأَرَادَ أَحَدٌ أَنْ يَجْتَازَ بَيْنَ يَدَيْهِ فَلْيَدْفَعْهُ، فَإِنْ أَبى فَلْيُقَاتِلْهُ فَإِنَّمَا هُوَ شَيْطَانٌ
“Apabila salah seorang dari kalian shalat menghadap sesuatu yang bisa menghalanginya dari manusia, lalu ada seseorang ingin lewat di hadapannya, hendaknya ia menolak/mencegahnya. Bila orang yang hendak lewat itu enggan tetap memaksa untuk lewat maka hendaknya ia memeranginya karena dia itu setan.” (HR. Al-Bukhari no. 509 dan Muslim no. 1129)
Ucapan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam: “Apabila salah seorang dari kalian shalat menghadap sesuatu yang bisa menghalanginya dari manusia,” menunjukkan bahwa orang yang shalat bisa jadi di depannya ada sesuatu yang menghalanginya dan bisa pula tidak ada. Karena konteks seperti ini menunjukkan demikian, tidak semua orang shalat menghadap sutrah.
- Hadits Ibnu ‘Abbas radhiyallahu 'anhuma:
أَقْبَلْتُ رَاكِبًا عَلَى حِمَارٍ أَتَانٍ وَأَنَا يَوْمَئِذٍ قَدْ نَاهَزْتُ الْاِحتِلاَمَ وَرَسولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي بِالنَّاسِ بـِمِنًى إِلَى غَيْرِ جِدَارٍ، فَمَرَرْتُ بَيْنَ يَدَيْ بَعْضِ الصَّفِّ، فَنَزَلْتُ وَأَرْسَلْتُ الْأَتاَنَ تَرْتَعُ وَدَخَلْتُ فيِ الصَّفِّ، فَلَمْ يُنْكِرْ ذَلِكَ عَلَيَّ أَحَدٌ
“Aku datang dengan menunggang keledai betina, saat itu aku menjelang ihtilam (mimpi basah/baligh) sementara Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sedang shalat mengimami manusia di Mina tanpa ada tembok/dinding di hadapan beliau. Lalu aku lewat di hadapan sebagian shaf, setelahnya aku turun dari keledai tersebut dan aku membiarkannya pergi merumput. Kemudian aku masuk (bergabung) ke dalam shaf. Tidak ada seorang pun yang mengingkari perbuatanku tersebut.” (HR. Al-Bukhari no. 493 dan Muslim no. 1124 namun tanpa lafadz: إِلَى غَيْرِ جِدَارٍ)
Dari lafadz إِلَى غَيْرِ جِدَارٍ (tanpa ada tembok/dinding di hadapan beliau) dipahami bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam shalat tanpa ada sutrah di hadapannya.
- Hadits Ibnu ‘Abbas radhiyallahu 'anhuma juga, ia berkata:
صَلَّى النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي فَضَاءٍ لَيْسَ بَيْنَ يَدَيْهِ شَيْءٌ
“Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah shalat di tanah lapang sementara tidak ada sesuatu di hadapan beliau.” (HR. Ahmad 1/224 dan Al-Baihaqi 2/273)
Pendapat yang lain adalah sutrah hukumnya wajib. Dalilnya antara lain sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam:
لاَ تُصَلِّ إِلاَّ إِلَى سُتْرَةٍ، وَلاَ تَدَعْ أَحَدًا يَمُرُّ بَيْنَ يَدَيْكَ فَإِنْ أَبَى فَلْتُقَاتِلْهُ، فَإِنَّ مَعَهُ الْقَرِيْنَ
“Janganlah engkau shalat melainkan ke arah sutrah (di hadapanmu ada sutrah) dan jangan engkau biarkan seseorang pun lewat di depanmu. Bila orang itu menolak (tetap ngotot ingin lewat, –pent.), perangilah karena bersamanya ada qarin (setan).” (HR. Ibnu Khuzaimah dalam Shahih-nya dan berkata Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Ashlu Shifah Shalatin Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, 1/115: “Sanadnya jayyid.”)
Demikian pula perintah beliau untuk menancapkan tombak sebagai sutrah untuk shalat yang ditunjukkan dalam hadits Ibnu ‘Umar radhiyallahu 'anhuma yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari (no. 494) dan Muslim (no. 1115) dalam Shahih keduanya. Dan inilah pendapat yang rajih dan menenangkan hati kami. Wallahu a’lam bish-shawab.
Adapun dalil yang dipakai oleh jumhur dijawab sebagai berikut:
1. Hadits Abu Sa’id radhiyallahu 'anhu yang menunjukkan bahwa seseorang yang shalat terkadang di hadapannya ada sutrah dan terkadang tidak ada, hal ini terjawab dengan adanya hadits di atas yang sharih (jelas) yang melarang shalat tanpa sutrah, dan juga perintah beliau untuk menancapkan tombak sebagai sutrah.
2. Hadits Ibnu ‘Abbas radhiyallahu 'anhuma:
وَرَسولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي بِالنَّاسِ بِـمِنًى إِلَى غَيْرِ جِدَارٍ
“Sementara Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sedang shalat mengimami manusia di Mina tanpa ada tembok/dinding di hadapan beliau.”
Tidaklah menampik kemungkinan beliau shalat menghadap selain tembok/dinding. Ibnu Daqiqil ‘Id tmenyatakan bahwa tidak adanya tembok/dinding bukan berarti meniadakan sutrah. (Ihkamul Ahkam fi Syarhi ‘Umdatil Ahkam, bab Al-Murur baina Yadayil Mushalli, hadits no. 109)
Hadits ini diberi judul oleh Al-Imam Al-Bukhari rahimahullahu dengan Bab: Sutrah imam adalah sutrah bagi makmum/orang yang shalat di belakangnya. Dengan demikian, berarti Al-Imam Al-Bukhari rahimahullahu tidak memahami tidak adanya sutrah dari hadits ini. Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-’Asqalani rahimahullahu menjelaskan, “Seakan-akan Al-Bukhari membawa perkara ini pada kebiasaan yang ma’ruf dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, yaitu tidaklah beliau melakukan shalat di tanah lapang melainkan sebuah tombak ada di hadapan beliau (sebagai sutrahnya).” (Fathul Bari, 1/739)
Di samping itu, ada perselisihan para rawi yang membawa riwayat dari Al-Imam Malik rahimahullahu pada lafadz إِلَى غَيْرِ جِدَارٍ (tanpa ada tembok/dinding di hadapan beliau). Ada di antara mereka yang menyebutkannya dan ada yang tidak. Dan ternyata rawi yang tidak menyebutkan lafadz ini lebih banyak jumlahnya dan lebih tinggi kedudukannya dibanding rawi yang menyebutkannya.
Karena itulah kebanyakan penyusun kitab hadits shahih seperti Al-Imam Muslim, Abu ‘Awanah, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, dan selainnya, tidak membawakan lafadz ini. Bahkan Ibnu Khuzaimah rahimahullahu dalam Shahih-nya mengisyaratkan tidak tsabit (shahih)nya lafadz ini dengan adanya kepastian bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam shalat bersutrah dengan tombak. (Adh-Dha’ifah oleh Al-Imam Al-Albani, pembicaraan pada hadits 5814)
3. Sedangkan hadits:
صَلَّى النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي فَضَاءٍ لَيْسَ بَيْنَ يَدَيْهِ شَيْءٌ
“Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah shalat di tanah lapang sementara tidak ada sesuatu di hadapan beliau.”
adalah hadits yang lemah karena dalam sanadnya ada Al-Hajjaj bin Arthah, seorang rawi yang lemah. Kata Al-Hafizh rahimahullahu dalam Taqrib-nya hal.92, “Ia adalah rawi yang shaduq, namun banyak salahnya dan melakukan tadlis.” (Adh-Dha’ifah no. 5814)
Al-Imam Al-Albani rahimahullahu ketika membantah ucapan Sayyid Sabiq dalam Fiqhus Sunnah-nya berkata, “Pendapat yang mengatakan sutrah itu mustahab menentang nash yang berisi perintah shalat di hadapan sutrah yang disebutkan dalam sejumlah hadits, salah satunya bahkan dibawakan oleh penulis (Sayyid Sabiq). Pada sebagian hadits tersebut ada larangan mengerjakan shalat bila di depan seorang yang shalat tidak ada sutrah. Ibnu Khuzaimah menjadikan hadits ini sebagai judul bab dalam kitab Shahih-nya. Beliau dan Al-Imam Muslim meriwayatkan dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu 'anhuma secara marfu’:
لاَ تُصَلِّ إِلاَّ إِلَى سُتْرَةٍ ...
“Jangan engkau shalat kecuali menghadap sutrah….”
Beliau rahimahullahu juga berkata, “Termasuk perkara yang menguatkan kewajiban sutrah, adanya sutrah di hadapan orang yang shalat merupakan sebab syar’i tidak batalnya shalat orang tersebut dengan lewatnya wanita yang sudah baligh, keledai, dan anjing hitam di hadapan sutrahnya, sebagaimana disebutkan dalam hadits yang shahih. Juga dengan adanya sutrah, orang yang shalat tersebut berhak menahan orang yang ingin lewat di hadapannya. Demikian pula hukum-hukum lain yang berkaitan dengan sutrah. Al-Imam Asy-Syaukani rahimahullahu dalam Nailul Authar (3/2) dan As-Sailul Jarar (1/176) memegang pendapat yang mewajibkan sutrah ini. Dan pendapat ini merupakan dzahir ucapan Ibnu Hazm rahimahullahu dalam Al-Muhalla (4/8-15).” (Tamamul Minnah, hal. 300)

Mendekat kepada Sutrah
Orang yang meletakkan sutrah atau menjadikan sesuatu yang ada di hadapannya sebagai sutrah, harus mendekat dengan sutrahnya tersebut agar setan tidak mengganggu shalatnya. Sebagaimana hal ini diperintahkan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam:
إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ إِلَى سُتْرَةٍ فَلْيَدْنُ مِنْهَا، لاَ يَقْطَعُ الشَّيْطَانُ عَلَيْهِ صَلاَتَهُ
“Apabila salah seorang dari kalian shalat menghadap sutrahnya (yang ada di hadapannya), hendaklah ia mendekat ke sutrah tersebut agar setan tidak memutus shalatnya.” (HR. Abu Dawud no. 695, dishahihkan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Abi Dawud)2
Yang dimaksud dengan “agar setan tidak memutus shalatnya” adalah agar setan tidak meluputkan konsentrasinya dengan mendatangkan was-was dan menguasainya dalam shalatnya.
Kata Asy-Syaikh ‘Ali Al-Qari t, “Diambil faedah dari hadits ini bahwa sutrah dapat mencegah berkuasanya setan terhadap seseorang yang sedang shalat dengan memasukkan was-was ke dalam hatinya. Bisa jadi seluruh shalatnya dikuasai oleh setan, bisa pula sebagian shalatnya. Semuanya tergantung kejujuran orang yang shalat tersebut serta bagaimana penghadapan hatinya kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala dalam shalatnya. Sementara, tidak memakai sutrah akan memungkinkan setan untuk menghilangkan apa yang sedang dihadapinya berupa perasaan khusyuk, tunduk, tadabbur Al-Qur`an, dan dzikir.” (Ashlu Shifah Shalatin Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, 1/115)
Sahl bin Sa’d As-Sa’idi radhiyallahu 'anhu berkata:
كَانَ بَيْنَ مُصَلَّى رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَبَيْنَ الْـجِدَارِ مَمَرُّ الشَّاةِ
“Jarak antara tempat berdirinya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam shalatnya3 dengan tembok/dinding adalah sekadar lewatnya seekor kambing.” (HR. Al-Bukhari no. 496 dan Muslim no. 1134)
Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu menyatakan, “Dalam hadits ini menunjukkan bahwa merupakan perkara sunnah seorang yang shalat mendekat dengan sutrahnya.” (Al-Minhaj, 4/449)
Salamah ibnul Akwa’ radhiyallahu 'anhu menyebutkan:
كَانَ جِدَارُ الْـمَسْجِدِ عِنْدَ الْـمِنْبَر، مَا كَادَتِ الشَّاةُ تَجُوْزُهَا
“Dinding masjid Rasulullah di sisi mimbar, hampir-hampir seekor kambing tidak dapat melewatinya.” (HR. Al-Bukhari no. 497)
Maksudnya, jarak antara mimbar dengan dinding masjid dekat, sementara ketika shalat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berdiri di samping mimbar, karena tidak ada mihrab dalam masjid beliau. Sehingga, jarak antara beliau dengan dinding sama dengan jarak antara mimbar dengan dinding, yaitu sekadar hanya bisa dilewati seekor kambing.
Ibnu Baththal rahimahullahu berkata, “Ini jarak minimal seseorang yang shalat dengan sutrahnya, yaitu sekadar bisa dilewati seekor kambing.” Ada yang mengatakan jaraknya tiga hasta dan ini pendapat kebanyakan ahlul ‘ilmi. (Raddul Mukhtar Hasyiyatu Ibnu ‘Abidin 2/402, Al-Mughni Kitabus Shalah, fashl Dunu minas Sutrah, Al-Hawil Kabir 2/209, Al-Majmu` 3/226)
Dalilnya adalah hadits Bilal radhiyallahu 'anhu:
إِنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى فِي الْكَعْبَةِ وَبَيْنَهُ وَبَيْنَ الْـجِدَارِ ثَلاَثَةُ أَذْرُعٍ
“Sesungguhnya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam shalat di Ka’bah, jarak antara beliau dan dinding sejauh tiga hasta.” (Al-Imam Ibnu Abdil Barr rahimahullahu berkata: “Hadits ini diriwayatkan Ibnul Qasim dan Jama’ah dari Malik, dan sanad hadits ini lebih shahih4 dari sanad hadits Sahl ibnu Sa’d.” Lihat At-Tamhid 5/37, 38 dan Al-Istidzkar 6/171)
Ad-Dawudi ketika mengompromikan pendapat yang ada menyatakan bahwa yang paling minim adalah sekadar lewatnya seekor kambing dan maksimalnya tiga hasta. Sebagian ulama yang lain juga mengompromikan dengan menyatakan bahwa jarak yang awal adalah pada keadaan berdiri dan duduk, sedangkan jarak yang kedua pada keadaan ruku’ dan sujud. (Fathul Bari, 1/743, Adz-Dzakhirah, 2/157-158)
Al-Baghawi rahimahullahu berkata, “Ahlul ilmi menganggap mustahab untuk mendekat kepada sutrah, di mana jarak antara orang yang shalat dengan sutrahnya sekadar memungkinkan untuk sujud. Demikian pula jarak antar shaf.” (Syarhus Sunnah, 2/447)

Faedah
Al-Imam Malik rahimahullahu berkata, “Apabila seseorang masbuq dalam shalatnya, sementara tiang masjid ada di sebelah kanan atau kirinya, maka boleh dia bergeser ke kanan atau ke kiri mengarah ke tiang itu untuk dijadikan sutrah, jika memang tiang itu dekat dengannya. Begitu pula jika tiang itu ada di depannya atau di belakangnya, dia boleh maju atau mundur sedikit ke arah tiang tersebut selama tidak jauh darinya. Adapun bila tiang itu jauh, maka dia tetap shalat di tempatnya dan berusaha mencegah segala sesuatu yang lewat di hadapannya semampunya.” (Al-Mudawwanatul Kubra, 1/202)
Bergeser seperti ini dengan mencari sesuatu yang menghalanginya lebih ringan daripada mencegah orang yang lewat di hadapannya. (Adz-Dzakhirah, 2/156). Wallahu a’lam.

1 Di antara mereka juga terdapat silang pendapat dalam batal atau tidaknya shalat seorang yang dilewati oleh wanita, keledai, dan anjing hitam.
2 Dipahami dari hadits di atas adalah bila seseorang shalat sementara di hadapannya ada sutrah namun jarak antara dia dengan sutrahnya jauh, berarti dia memberi peluang kepada setan untuk mengganggu shalatnya. Sehingga bagaimana kiranya bila ada orang yang shalat sementara di hadapannya tidak ada sutrah? Hadits ini bisa menjadi dalil tentang wajibnya sutrah.
3 Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu menafsirkan mushalla dalam hadits di atas dengan tempat sujud. (Al-Minhaj, 4/449)
4 Karena rangkaian sanadnya adalah dari Malik, dari Nafi’, dari Ibnu ‘Umar, dari Bilal.


Sutrah dalam Shalat

- Tiang masjid
Tiang yang ada di masjid dapat dijadikan sebagai sutrah sebagaimana ditunjukkan dalam riwayat berikut. Yazid bin Abi ‘Ubaid berkata, “Adalah Salamah ibnul Akwa’ radhiyallahu 'anhu memilih shalat di sisi tiang masjid tempat menyimpan mushaf. Maka aku tanyakan kepadanya, ‘Wahai Abu Muslim, aku melihatmu menyengaja memilih shalat di sisi tiang ini.’ Beliau menjawab:
رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَتَحَرَّى الصَّلاَةَ عِنْدَهَا
“Aku melihat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam memilih shalat di sisinya.” (HR. Al-Bukhari no. 502 dan Muslim no. 1136)

- Tongkat yang ditancapkan
Ibnu ‘Umar radhiyallahu 'anhuma memberitakan:
أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا خَرَجَ يَوْمَ الْعِيْدِ أَمَرَ بِالْـحَرْبَةِ فَتُوْضَعُ بَيْنَ يَدَيْهِ فَيُصَلِّي إِلَيْهَا وَالنَّاسُ وَرَاءَهُ وَكَانَ يَفْعَلُ ذلِكَ فِي السَّفَرِ
“Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bila keluar ke tanah lapang untuk mengerjakan shalat Id, beliau memerintahkan pelayannya untuk membawa tombak lalu ditancapkan di hadapan beliau. Kemudian beliau shalat menghadapnya sementara manusia menjadi makmum di belakang beliau. Dan beliau juga melakukan hal tersebut dalam safarnya.” (HR. Al-Bukhari no. 494 dan Muslim no. 1115)

- Hewan tunggangan
Ibnu Umar radhiyallahu 'anhuma mengabarkan perbuatan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam:
أَنَّهُ كَانَ يُعَرِّضُ رَاحِلَتَهُ فَيُصَلِّي إِلَيْهَا
“Adalah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam melintangkan hewan tunggangannya (antara beliau dengan kiblat), lalu shalat menghadapnya.” (HR. Al-Bukhari no. 507 dan Muslim no. 1117)

- Pohon
Sekali waktu Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam shalat menghadap sebuah pohon, sebagaimana ditunjukkan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad rahimahullahu (1/138) dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu 'anhu, ia berkata:
لَقَدْ رَأَيْتُنَا لَيْلَةَ بَدْرٍ، وَمَا مِنَّا إِنْسَانٌ إِلاَّ نَائِمٌ إِلاَّ رَسُوْلُ اللهِ n، فَإِنَّهُ كَانَ يُصَلِّي إِلَى شَجَرَةٍ وَيَدْعُو حَتَّى أَصْبَحَ
“Sungguh aku melihat kami pada malam Badr, tidak ada seorang pun dari kami melainkan tertidur kecuali Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau sedang mengerjakan shalat menghadap ke arah sebuah pohon sebagai sutrahnya dan berdoa hingga pagi hari.” (Al-Imam Al-Albani rahimahullahu berkata: “Sanadnya shahih.” Lihat Ashlu Shifah Shalatin Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, 1/120)

- Dinding/tembok
Sebagaimana ditunjukkan dalam hadits Sahl bin Sa’d As-Sa’idi radhiyallahu 'anhu yang telah disebutkan ketika membahas tentang mendekat dengan sutrah.

- Tempat tidur
Pada kali yang lain, beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam menjadikan tempat tidur sebagai sutrahnya sebagaimana berita dari istri beliau, Aisyah radhiyallahu 'anha:
لَقَدْ رَأَيْتُنِي مُضْطَجِعَةً عَلَى السَّرِيْرِ فَيَجِيْءُ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَيَتَوَسَّطُ السَّرِيْرَ فَيُصَلِّي
“Sungguh aku melihat diriku dalam keadaan berbaring di atas tempat tidur lalu Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam datang, beliau berdiri menghadap bagian tengah tempat tidur, kemudian shalat.” (HR. Al-Bukhari no. 508 dan Muslim no. 1144)
Dalam lafadz lain, Aisyah radhiyallahu 'anha berkata:
لَقَدْ رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي وَإِنِّي لَبَيْنَهُ وَبَيْنَ الْقِبْلَةِ مُضْطَجِعَةٌ عَلَى السَّرِيْرِ
“Sungguh aku melihat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam shalat sementara aku berada di antara beliau dan kiblatnya dalam keadaan berbaring di atas tempat tidur.” (HR. Al-Bukhari no. 511 dan Muslim no. 1143)

- Benda yang tinggi
Boleh menjadikan sesuatu yang tinggi semisal mu`khiratur rahl sebagai sutrah. Mu`khiratur rahl adalah kayu yang berada di bagian belakang pelana hewan tunggangan yang dijadikan sebagai sandaran si penunggang hewan tersebut. Tingginya sekitar 2/3 hasta. (Nailul Authar 3/4, Taudhihul Ahkam, 2/64, Asy-Syarhul Mumti` 1/731)
Aisyah radhiyallahu 'anha berkata, “Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah ditanya dalam Perang Tabuk tentang tinggi sutrah orang yang shalat. Maka beliau menjawab:
مِثْلُ مُؤْخِرَةِ الرَّحْلِ
“Semisal mu’khiratur rahl.” (HR. Muslim no. 1113)
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah bersabda:
إِذَا وَضَعَ أَحَدُكُمْ بَيْنَ يَدَيْهِ مِثْلَ مُؤْخِرَةِ الرَّحْلِ فَلْيُصَلِّ، وَلاَ يُبَالِ مَنْ مَرَّ وَرَاءَ ذَلِكَ
“Apabila salah seorang dari kalian meletakkan semisal mu`khiratur rahl di hadapannya maka silakan ia shalat dan jangan memedulikan orang yang lewat di belakang sutrahnya tersebut.” (HR. Muslim no. 1111)

Tidak Cukup dengan Garis
Adapun sekadar garis di depan orang yang shalat tidaklah cukup sebagai sutrah. (Subulus Salam, 1/227)
Al-Qarafi rahimahullahu mengatakan, “Ini adalah pendapat jumhur fuqaha.” (Adz-Dzakhirah, 2/154)
Walaupun ada sebagian ahlul ‘ilmi berpandangan garis dapat dijadikan sebagai sutrah. Terdapat hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad (2/255), Abu Dawud (no. 689), dan Ibnu Hibban (no. 2369) dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu:
إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ فَلْيَجْعَلْ تِلْقَاءَ وَجْهِهِ شَيْئًا، فَإِنْ لَـمْ يَجِدْ شَيْئًا، فَلْيَنْصَبْ عَصًا، فَإِنْ لـَمْ يَكُنْ مِنْ عَصًا فَلْيَخُطَّ خَطًّا وَلاَ يَضُرُّهُ مَا مَرَّ بَيْنَ يَدَيْهِ
“Apabila salah seorang dari kalian shalat, hendaklah ia menjadikan sesuatu di hadapannya (sebagai sutrah). Bila ia tidak mendapatkan sesuatu hendaklah ia menancapkan tongkat. Bila tidak ada tongkat, hendaklah ia membuat sebuah garis dan tidak memudaratkannya apa yang lewat di hadapannya.”
Al-Imam Al-Albani rahimahullahu berkata dalam Tamamul Minnah, “Hadits ini sanadnya dhaif tidak shahih. Walaupun orang-orang yang disebutkan oleh penulis Fiqhus Sunnah (Sayyid Sabiq) menganggapnya shahih. Namun ulama yang lebih banyak jumlahnya selain mereka telah mendhaifkan hadits ini dan mereka lebih kuat argumennya. Terlebih lagi adanya perselisihan dalam riwayat dari Al-Imam Ahmad rahimahullahu tentang permasalahan ini.
Al-Hafizh rahimahullahu telah menukilkan dalam At-Tahdzib dari Al-Imam Ahmad t, di mana disebutkan beliau berkata, “Permasalahan garis yang digunakan sebagai sutrah, haditsnya dhaif.”
Sementara dalam At-Talkhish, Al-Hafizh rahimahullahu menyebutkan penshahihan Ahmad sebagaimana dinukilkan oleh Ibnu Abdil Barr rahimahullahu dalam Al-Istidzkar terhadap hadits di atas, kemudian beliau (Al-Hafizh) berkata, “Sufyan bin Uyainah, Asy-Syafi`i, Al-Baghawi rahimahumullah dan selain mereka, telah mengisyaratkan kelemahan hadits ini.”
Dalam At-Tahdzib juga disebutkan, “Ad-Daraquthni rahimahullahu berkata, ‘Hadits ini tidak shahih, tidak tsabit.’ Asy-Syafi`i rahimahullahu berkata dalam Sunan Harmalah, ‘Seseorang yang shalat tidak cukup membuat garis di depannya untuk dijadikan sebagai sutrah kecuali bila di sana ada hadits yang tsabit.’ Al-Imam Malik rahimahullahu berkata dalam Al-Mudawwanah, ‘Garis yang digunakan sebagai sutrah adalah batil.’
Dari kalangan ulama muta’akhirin yang mendhaifkan hadits ini adalah Ibnush Shalah, An-Nawawi, Al-’Iraqi, dan yang lainnya. Inilah pendapat yang benar karena hadits ini memiliki dua illat (penyakit yang mencacati), yaitu idhthirab dan jahalah, yang menghalanginya untuk dihukumi hasan, terlebih lagi dihukumi shahih.” (Tamamul Minnah, hal. 300-301)
Al-Qadhi Iyadh rahimahullahu berdalil dengan hadits mu`khiratur rahl untuk menyatakan garis di depan orang yang shalat tidaklah cukup sebagai sutrah. (Al-Ikmal lil Qadhi Iyadh 2/414)

Faedah
Al-Qarafi rahimahullahu berkata menukil dari penulis kitab An-Nawadir, bahwa lubang dan sungai maupun segala sesuatu yang tidak tertancap dengan tegak, seperti garis misalnya, bukanlah termasuk sutrah.” (Adz-Dzakhirah, 2/155)

http://www.asysyariah.com/print.php?id_online=620

Mutiara Nasehat

oleh: Alfi Khair
===============================================

‘tuk calon Istriku dan semua wanita yang ingin menjadi istri sholihah…

Nabi -shalallahu ‘alayhi wasallam- bersabda:

“Dunia itu seluruhnya perhiasan, dan sebaik-baik perhiasan dunia adalah istri sholihah” (Hadits Riwayat Muslim)

“Tiada kekayaan yg diambil seorang mukmin setelah takwa kepada Allah yang lebih baik dari istri sholihah; jika dia menyuruhnya iapun taat, jika dilihat menyenangkan dan jika diberi mau berterima kasih, dan jika suaminya pergi maka dia menjaga dirinya dan harta suaminya.” (Hadits Riwayat Ibn Majah)

“Sungguh wanita yang terbaik di antara wanita kamu ialah yang subur, besar cintanya, teguh memegang rahasia, tabah menderita dalam mengurus keluarganya, patuh terhadap suaminya, membentengi diri dari laki-laki lain, mau mendengar ucapan suami dan menaati perintahnya, dan bila bersendirian dengan suaminya, ia pasrahkan dirinya pada kehendak suaminya, serta tidak berlaku dingin kepada suaminya, seperti sikap dinginnya laki-laki” (Hadits Riwayat Thusy)

Nasihat Umamah binti Harits kepada putrinya Ummu Iyyas bin ‘Auf ketika dipinang oleh Amr bin Hijr, Raja Kindah:

“Wahai putriku, sekiranya memberi nasihat boleh ditinggalkan, maka aku tinggalkan untukmu. Nasihat itu merupakan peringatan bagi yang lain dan pertolongan bagi yang berakal sekalipun seorang perempuan tidak memerlukan harta suaminya karena orangtuanya sudah kaya. Dan aku adalah orang yang paling tidak memerlukan itu semua, tetapi perempuan itu diciptakan untuk laki-laki dan sebaliknya.

Wahai putriku, engkau keluar menghadapi suasana baru dan tempat baru yang belum pernah engkau kenal liku-likunya. Engkau juga menghadapi sahabat baru yang liku-likunya tidak engkau kenal sebelumnya. Akan tetapi, suamimu dengan kekuasaannya akan dapat menguasai dan mengawasi dirimu. Oleh karena itu, jadilah kamu laksana seorang budak, dia pun tentu akan menjadi budak bagi dirimu dan teman kesayanganmu.

Jagalah dengan baik 10 sifat, niscaya engkau menjadi penyuluh.

Pertama dan kedua, hendaklah kamu bersifat tenang dan menerima apa adanya serta mau mendengar dan taat.

Ketiga dan keempat, hendaklah kamu menjaga dengan baik mata dan hidungnya, agar dia tidak sampai melihat hal tidak baik pada dirimu; seperti jorok, dan jangan sampai mencium bau tidak enak dari dirimu. Oleh karena itu, engkau harus selalu wangi.

Kelima dan keenam, jagalah baik-baik waktu tidurnya dan waktu makannya. Bila perutnya benar-benar sudah merasa lapar, ia mudah tersinggung. Dan bila tidurnya terganggu, ia akan mudah marah.

Ketujuh dan kedelapan, hendaklah engkau jaga hartanya, perhatikan pelayan dan keluarganya. Seseorang dikatakan tidak menjaga hartanya dengan baik bila tidak pandai mengatur pembelanjaannya, dinamakan tidak memperhatikan pelayan dan keluarganya bila tidak pandai mengurusnya.

Kesembilan dan kesepuluh, janganlah engkau durhaka kepada perintahnya dan membuka rahasianya. Kalau engkau menyalahi perintahnya, hatinya akan menjadi panas. Dan kalau engkau buka rahasianya, engkau membuatnya tidak percaya kepadamu dan tidak merasa aman darimu. Janganlah kamu sekali-kali bergembira ria di kala dia sedang murung, dan jangan kamu murung di kala dia sedang bergembira ria..” (Fiqh Sunnah 2:200)

Dan apakah ganjaran bagi istri sholihah? Rasulullah -shalallhu ‘alayhi wa sallam- bersabda:

“Bila seorang wanita sholat lima waktu, puasa di bulan Ramadhan, menjaga kemaluannya dan taat kepada suaminya, maka ia akan memasuki surga dari pintu mana saja yang ia kehendaki.” (Hadits Riwayat Thabrani)

Selamat berjuang tuk jadi istri yg sholihah!

Sungguh hidup itu penuh dengan perjuangan…



http://mutiarasuamiku.wordpress.com/2006/12/26/mutiara-nasehat/