Senin, 30 November 2009

Nikmat Sehat dan Waktu Luang yang Membuat Manusia Tertipu

Dua nikmat ini seringkali dilalaikan oleh manusia –termasuk pula hamba yang faqir ini-. Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

نِعْمَتَانِ مَغْبُونٌ فِيهِمَا كَثِيرٌ مِنَ النَّاسِ ، الصِّحَّةُ وَالْفَرَاغُ

”Ada dua kenikmatan yang banyak manusia tertipu, yaitu nikmat sehat dan waktu senggang”. (HR. Bukhari no. 6412, dari Ibnu ‘Abbas)

Ibnu Baththol mengatakan, ”Seseorang tidaklah dikatakan memiliki waktu luang hingga badannya juga sehat. Barangsiapa yang memiliki dua nikmat ini (yaitu waktu senggang dan nikmat sehat), hendaklah ia bersemangat, jangan sampai ia tertipu dengan meninggalkan syukur pada Allah atas nikmat yang diberikan. Bersyukur adalah dengan melaksanakan setiap perintah dan menjauhi setiap larangan Allah. Barangsiapa yang luput dari syukur semacam ini, maka dialah yang tertipu.”

Ibnul Jauzi mengatakan, ”Terkadang manusia berada dalam kondisi sehat, namun ia tidak memiliki waktu luang karena sibuk dengan urusan dunianya. Dan terkadang pula seseorang memiliki waktu luang, namun ia dalam kondisi tidak sehat. Apabila terkumpul pada manusia waktu luang dan nikmat sehat, sungguh akan datang rasa malas dalam melakukan amalan ketaatan. Itulah manusia yang telah tertipu (terperdaya).”

Ibnul Jauzi juga mengatakan nasehat yang sudah semestinya menjadi renungan kita, “Intinya, dunia adalah ladang beramal untuk menuai hasil di akhirat kelak. Dunia adalah tempat kita menjajakan barang dagangan, sedangkan keuntungannya akan diraih di akhirat nanti. Barangsiapa yang memanfaatkan waktu luang dan nikmat sehat dalam rangka melakukan ketaatan, maka dialah yang akan berbahagia. Sebaliknya, barangsiapa memanfaatkan keduanya dalam maksiat, dialah yang betul-betul tertipu. Sesudah waktu luang akan datang waktu yang penuh kesibukan. Begitu pula sesudah sehat akan datang kondisi sakit yang tidak menyenangkan.”[1]

‘Umar bin Khottob mengatakan,

إنِّي أَكْرَهُ الرَّجُلَ أَنْ أَرَاهُ يَمْشِي سَبَهْلَلًا أَيْ : لَا فِي أَمْرِ الدُّنْيَا ، وَلَا فِي أَمْرِ آخِرَةٍ .

“Aku tidak suka melihat seseorang yang berjalan seenaknya tanpa mengindahkan ini dan itu, yaitu tidak peduli penghidupan dunianya dan tidak pula sibuk dengan urusan akhiratnya.”

Ibnu Mas’ud mengatakan,

إنِّي لَأَبْغَضُ الرَّجُلَ فَارِغًا لَا فِي عَمَلِ دُنْيَا وَلَا فِي عَمَلِ الْآخِرَةِ

“Aku sangat membenci orang yang menganggur, yaitu tidak punya amalan untuk penghidupan dunianya ataupun akhiratnya.”[2]

Semoga Allah selalu memberi kita taufik dan hidayah-Nya untuk memanfaatkan dua nikmat ini dalam ketaatan. Semoga kita tidak termasuk orang-orang yang tertipu dan terperdaya.

Faedah ilmu di sore hari, 17 Dzulqo’dah 1430 H



Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel http://rumaysho.com

[1] Lihat Fathul Bari, Ibnu Hajar, 18/219, Mawqi’ Al Islam

[2] Dua perkataan sahabat ini terdapat dalam Al Adabusy Syar’iyyah, Ibnu Muflih, 4/303, Mawqi’ Al Islam

Beberapa Amalan Ketika Turun Hujan

Segala puji bagi Allah Ta’ala atas segala macam nikmat yang telah diberikan-Nya. Dan shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam beserta keluarga, para sahabatnya dan pengikutnya hingga akhir zaman.

Segala puji bagi Allah, pada saat ini Allah telah menganugerahkan kita suatu karunia dengan menurunkan hujan melalui kumpulan awan. Allah Ta’ala berfirman,

أَفَرَأَيْتُمُ الْمَاءَ الَّذِي تَشْرَبُونَ (68) أَأَنْتُمْ أَنْزَلْتُمُوهُ مِنَ الْمُزْنِ أَمْ نَحْنُ الْمُنْزِلُونَ (69)

”Maka terangkanlah kepadaku tentang air yang kamu minum. Kamukah yang menurunkannya atau Kamikah yang menurunkannya?” (QS. Al Waqi’ah [56] : 68-69)

Begitu juga firman Allah Ta’ala,

وَأَنْزَلْنَا مِنَ الْمُعْصِرَاتِ مَاءً ثَجَّاجًا (14)

”Dan Kami turunkan dari awan air yang banyak tercurah.” (QS. An Naba’ [78] : 14)

Allah Ta’ala juga berfirman,

فَتَرَى الْوَدْقَ يَخْرُجُ مِنْ خِلَالِهِ

”Maka kelihatanlah olehmu hujan keluar dari celah-celahnya.” (QS. An Nur [24] : 43) yaitu dari celah-celah awan.[1]

Merupakan tanda kekuasaan Allah Ta’ala, kesendirian-Nya dalam menguasai dan mengatur alam semesta, Allah menurunkan hujan pada tanah yang tandus yang tidak tumbuh tanaman sehingga pada tanah tersebut tumbuhlah tanaman yang indah untuk dipandang. Allah Ta’ala telah mengatakan yang demikian dalam firman-Nya,

وَمِنْ آيَاتِهِ أَنَّكَ تَرَى الأرْضَ خَاشِعَةً فَإِذَا أَنْزَلْنَا عَلَيْهَا الْمَاءَ اهْتَزَّتْ وَرَبَتْ إِنَّ الَّذِي أَحْيَاهَا لَمُحْيِي الْمَوْتَى إِنَّهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ

“Dan di antara tanda-tanda-Nya (ialah) bahwa kau lihat bumi kering dan gersang, maka apabila Kami turunkan air di atasnya, niscaya ia bergerak dan subur. Sesungguhnya Tuhan Yang menghidupkannya, Pastilah dapat menghidupkan yang mati. Sesungguhnya Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS. Fushshilat [41] : 39). Itulah hujan, yang Allah turunkan untuk menghidupkan tanah yang mati. Sebagaimana pembaca dapat melihat pada daerah yang kering dan jarang sekali dijumpai air seperti Gunung Kidul, tatkala hujan itu turun, datanglah keberkahan dengan mekarnya kembali berbagai tanaman dan pohon jati kembali hidup setelah sebelumnya kering tanpa daun. Sungguh ini adalah suatu kenikmatan yang amat besar.

Sebagai tanda syukur kepada Allah atas nikmat hujan yang telah diberikan ini, sebaiknya kita mengilmui beberapa hal seputar musim hujan. Untuk tulisan pertama, kami akan menjelaskan amalan-amalan yang semestinya dilakukan seorang muslim ketika hujan turun. Setelah itu, kita akan memperjari fenomena kilatan petir dan geledek. Dan terakhir kita akan mengkaji bersama mengenai beberapa keringanan di musim penghujan. Semoga bermanfaat.

:: Beberapa Amalan Ketika Turun Hujan ::



[1] Keadaan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam Tatkala Mendung

Ketika muncul mendung, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam begitu khawatir, jangan-jangan akan datang adzab dan kemurkaan Allah. Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau berkata,

كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا رَأَى نَاشِئاً فِي أُفُقٍ مِنْ آفَاِق السَمَاءِ، تَرَكَ عَمَلَهُ- وَإِنْ كَانَ فِي صَلَاةٍ- ثُمَّ أَقْبَلَ عَلَيْهِ؛ فَإِنْ كَشَفَهُ اللهُ حَمِدَ اللهَ، وَإِنْ مَطَرَتْ قَالَ: "اللَّهُمَّ صَيِّباً نَافِعاً"

”Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila melihat awan (yang belum berkumpul sempurna, pen) di salah satu ufuk langit, beliau meninggalkan aktivitasnya –meskipun dalam shalat- kemudian beliau kembali melakukannya lagi (jika hujan sudah selesai, pen). Ketika awan tadi telah hilang, beliau memuji Allah. Namun, jika turun hujan, beliau mengucapkan, “Allahumma shoyyiban nafi’an” [Ya Allah jadikanlah hujan ini sebagi hujan yang bermanfaat].”[2]

’Aisyah radhiyallahu ’anha berkata,

كَانَ النَّبِىُّ - صلى الله عليه وسلم - إِذَا رَأَى مَخِيلَةً فِى السَّمَاءِ أَقْبَلَ وَأَدْبَرَ وَدَخَلَ وَخَرَجَ وَتَغَيَّرَ وَجْهُهُ ، فَإِذَا أَمْطَرَتِ السَّمَاءُ سُرِّىَ عَنْهُ ، فَعَرَّفَتْهُ عَائِشَةُ ذَلِكَ ، فَقَالَ النَّبِىُّ - صلى الله عليه وسلم - « مَا أَدْرِى لَعَلَّهُ كَمَا قَالَ قَوْمٌ ( فَلَمَّا رَأَوْهُ عَارِضًا مُسْتَقْبِلَ أَوْدِيَتِهِمْ ) »

”Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam apabila melihat mendung di langit, beliau beranjak ke depan, ke belakang atau beralih masuk atau keluar, dan berubahlah raut wajah beliau. Apabila hujan turun, beliau shallallahu ’alaihi wa sallam mulai menenangkan hatinya. ’Aisyah sudah memaklumi jika beliau melakukan seperti itu. Lalu Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam mengatakan, ”Aku tidak mengetahui apa ini, seakan-akan inilah yang terjadi (pada Kaum ’Aad) sebagaimana Allah berfirman (yang artinya), ”Maka tatkala mereka melihat azab itu berupa awan yang menuju ke lembah-lembah mereka.” (QS. Al Ahqaf [46] : 24)”[3]

Ibnu Hajar mengatakan, ”Hadits ini menunjukkan bahwa seharusnya seseorang menjadi kusut pikirannya jika ia mengingat-ingat apa yang terjadi pada umat di masa silam dan ini merupakan peringatan agar ia selalu merasa takut akan adzab sebagaimana ditimpakan kepada mereka yaitu umat-umat sebelumnya.”[4]

[2] Mensyukuri Nikmat Turunnya Hujan

Apabila Allah memberi nikmat hujan, dianjurkan bagi seorang muslim dalam rangka bersyukur kepada-Nya untuk membaca do’a,

اللَّهُمَّ صَيِّباً ناَفِعاً

“Allahumma shoyyiban naafi’aa [Ya Allah, turunkanlah pada kami hujan yang bermanfaat].”

Itulah yang Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam ucapkan ketika melihat turunnya hujan. Hal ini berdasarkan hadits dari Ummul Mukminin, ’Aisyah radhiyallahu ’anha,

إِنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- كَانَ إِذَا رَأَى الْمَطَرَ قَالَ « اللَّهُمَّ صَيِّباً نَافِعاً »

”Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam ketika melihat turunnya hujan, beliau mengucapkan, ”Allahumma shoyyiban nafi’an” [Ya Allah turunkanlah pada kami hujan yang bermanfaat]”.[5]

Ibnu Baththol mengatakan, ”Hadits ini berisi anjuran untuk berdo’a ketika turun hujan agar kebaikan dan keberkahan semakin bertambah, begitu pula semakin banyak kemanfaatan.”

Al Khottobi mengatakan, ”Air hujan yang mengalir adalah suatu karunia.”[6]

[3] Turunnya Hujan, Kesempatan Terbaik untuk Memanjatkan Do’a

Ibnu Qudamah dalam Al Mughni[7] mengatakan, ”Dianjurkan untuk berdo’a ketika turunnya hujan, sebagaimana diriwayatkan bahwa Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,

اُطْلُبُوا اسْتِجَابَةَ الدُّعَاءِ عِنْدَ ثَلَاثٍ : عِنْدَ الْتِقَاءِ الْجُيُوشِ ، وَإِقَامَةِ الصَّلَاةِ ، وَنُزُولِ الْغَيْثِ

’Carilah do’a yang mustajab pada tiga keadaan : [1] Bertemunya dua pasukan, [2] Menjelang shalat dilaksanakan, dan [3] Saat hujan turun.”[8]

Begitu juga terdapat hadits dari Sahl bin Sa’d, beliau berkata bahwa Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,

ثِنْتَانِ مَا تُرَدَّانِ الدُّعَاءُ عِنْدَ النِّدَاءِ وَ تَحْتَ المَطَرِ

“Dua do’a yang tidak akan ditolak: [1] do’a ketika adzan dan [2] do’a ketika ketika turunnya hujan.”[9]

[4] Ketika Terjadi Hujan Lebat

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam suatu saat pernah meminta diturunkan hujan. Kemudian ketika hujan turun begitu lebatnya, beliau memohon pada Allah agar cuaca kembali menjadi cerah. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berdo’a,

اللَّهُمّ حَوَالَيْنَا وَلَا عَلَيْنَا,اللَّهُمَّ عَلَى الْآكَامِ وَالْجِبَالِ وَالظِّرَابِ وَبُطُونِ الْأَوْدِيَةِ وَمَنَابِتِ الشَّجَرِ

“Allahumma haawalaina wa laa ’alaina. Allahumma ’alal aakami wal jibaali, wazh zhiroobi, wa buthunil awdiyati, wa manaabitisy syajari [Ya Allah, turunkanlah hujan di sekitar kami, bukan untuk merusak kami. Ya Allah, turukanlah hujan ke dataran tinggi, gunung-gunung, bukit-bukit, perut lembah dan tempat tumbuhnya pepohonan].”[10]

Ibnul Qayyim mengatakan, ”Ketika hujan semakin lebat, para sahabat meminta pada Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam supaya berdo’a agar cuaca kembali menjadi cerah. Akhirnya beliau membaca do’a di atas.”[11]

Syaikh Sholih As Sadlan mengatakan bahwa do’a di atas dibaca ketika hujan semakin lebat atau khawatir hujan akan membawa dampak bahaya.[12]

[5] Mengambil Berkah dari Air Hujan

Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata, ”Kami pernah kehujanan bersama Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam. Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyingkap bajunya hingga terguyur hujan. Kemudian kami mengatakan, “Wahai Rasulullah, mengapa engkau melakukan demikian?” Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لأَنَّهُ حَدِيثُ عَهْدٍ بِرَبِّهِ تَعَالَى

“Karena hujan ini baru saja Allah ciptakan.”[13]

An Nawawi menjelaskan, “Makna hadits ini adalah hujan itu rahmat yaitu rahmat yang baru saja diciptakan oleh Allah Ta’ala. Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertabaruk (mengambil berkah) dari hujan tersebut.”[14]

An Nawawi selanjutnya mengatakan, ”Dalam hadits ini terdapat dalil bagi ulama Syafi’iyyah tentang dianjurkannya menyingkap sebagian badan (selain aurat) pada awal turunnya hujan, agar terguyur air hujan tersebut. Dan mereka juga berdalil dari hadits ini bahwa seseorang yang tidak memiliki keutamaan, apabila melihat orang yang lebih berilmu melakukan sesuatu yang ia tidak ketahui, hendaknya ia menanyakannya untuk diajari lalu dia mengamalkannya dan mengajarkannya pada yang lain.”[15]

Dalam hal mencari berkah dengan air hujan dicontohkan pula oleh sahabat Ibnu ‘Abbas. Beliau berkata,

أَنَّهُ كَانَ إِذَا أَمْطَرَتِ السَّمَاءُ، يَقُوْلُ: "يَا جَارِيَّةُ ! أَخْرِجِي سَرْجِي، أَخْرِجِي ثِيَابِي، وَيَقُوْلُ: وَنَزَّلْنَا مِنَ السَّمَاءِ مَاءً مُبَارَكاً [ق: 9].

”Apabila turun hujan, beliau mengatakan, ”Wahai jariyah keluarkanlah pelanaku, juga bajuku”.” Lalu beliau membacakan (ayat) [yang artinya], ”Dan Kami menurunkan dari langit air yang penuh barokah (banyak manfaatnya).” (QS. Qaaf [50] : 9)” [16]

[6] Dianjurkan Berwudhu dengan Air Hujan

Ibnu Qudamah mengatakan, ”Dianjurkan untuk berwudhu dengan air hujan apabila airnya mengalir deras.”[17]

Dari Yazid bin Al Hadi, apabila air yang deras mengalir, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan,

اُخْرُجُوا بِنَا إلَى هَذَا الَّذِي جَعَلَهُ اللَّهُ طَهُورًا ، فَنَتَطَهَّرَمِنْهُ وَنَحْمَدَ اللّهَ عَلَيْهِ

”Keluarlah kalian bersama kami menuju air ini yang telah dijadikan oleh Allah sebagai alat untuk bersuci.” Kemudian kami bersuci dengan air tersebut dan memuji Allah atas nikmat ini.”[18]

Namun, hadits di atas adalah hadits yang lemah karena munqothi’ (terputus sanadnya) sebagaimana dikatakan oleh Al Baihaqi[19].

Ada hadits yang serupa dengan hadits di atas dan shahih,

كَانَ يَقُوْلُ إِذَا سَالَ الوَادِي " أُخْرُجُوْا بِنَا إِلَى هَذَا الَّذِي جَعَلَهُ اللهُ طَهُوْرًا فَنَتَطَهَّرُ بِهِ "

“Apabila air mengalir di lembah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “Keluarlah kalian bersama kami menuju air ini yang telah dijadikan oleh Allah sebagai alat untuk bersuci”. Kemudian kami bersuci dengannya.”[20]

[7] Janganlah Mencela Hujan

Sungguh sangat disayangkan sekali, setiap orang sudah mengetahui bahwa hujan merupakan nikmat dari Allah Ta’ala. Namun, ketika hujan dirasa mengganggu aktivitasnya, timbullah kata-kata celaan, “Aduh!! hujan lagi, hujan lagi”.

Perlu diketahui bahwa setiap yang seseorang ucapkan, baik yang bernilai dosa atau tidak bernilai dosa dan pahala, semua akan masuk dalam catatan malaikat. Allah Ta’ala berfirman,

مَا يَلْفِظُ مِنْ قَوْلٍ إِلَّا لَدَيْهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ

”Tiada suatu ucapanpun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir.” (QS. Qaaf [50] : 18)

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,

إِنَّ الْعَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ مِنْ رِضْوَانِ اللَّهِ لاَ يُلْقِى لَهَا بَالاً ، يَرْفَعُ اللَّهُ بِهَا دَرَجَاتٍ ، وَإِنَّ الْعَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ مِنْ سَخَطِ اللَّهِ لاَ يُلْقِى لَهَا بَالاً يَهْوِى بِهَا فِى جَهَنَّمَ

“Sesungguhnya ada seorang hamba berbicara dengan suatu perkataan yang tidak dia pikirkan lalu Allah mengangkat derajatnya disebabkan perkataannya itu. Dan ada juga seorang hamba yang berbicara dengan suatu perkataan yang membuat Allah murka dan tidak pernah dipikirkan bahayanya lalu dia dilemparkan ke dalam jahannam.”[21]

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menasehatkan kita agar jangan selalu menjadikan makhluk yang tidak dapat berbuat apa-apa sebagai kambing hitam jika kita mendapatkan sesuatu yang tidak kita sukai. Seperti beliau melarang kita mencela waktu dan angin karena kedua makhluk tersebut tidak dapat berbuat apa-apa.

Dalam sebuah hadits qudsi, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, Allah Ta’ala berfirman,

قَالَ اللَّهُ تَعَالَى يُؤْذِينِى ابْنُ آدَمَ ، يَسُبُّ الدَّهْرَ وَأَنَا الدَّهْرُ ، بِيَدِى الأَمْرُ ، أُقَلِّبُ اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ

“Manusia menyakiti Aku; dia mencaci maki masa (waktu), padahal Aku adalah pemilik dan pengatur masa, Aku-lah yang mengatur malam dan siang menjadi silih berganti.”[22]

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,

لاَ تَسُبُّوا الرِّيحَ

”Janganlah kamu mencaci maki angin.”[23]

Dari dalil di atas terlihat bahwa mencaci maki masa (waktu) dan angin adalah sesuatu yang terlarang. Begitu pula halnya dengan mencaci maki makhluk yang tidak dapat berbuat apa-apa, seperti mencaci maki angin dan hujan adalah terlarang.

Larangan ini bisa termasuk syirik akbar (syirik yang mengeluarkan seseorang dari Islam) jika diyakini makhluk tersebut sebagai pelaku dari kejelekan yang terjadi. Meyakini demikian berarti meyakini bahwa makhluk tersebut yang menjadikan baik dan buruk. Ini sama saja dengan menyatakan ada pencipta selain Allah. Namun, jika diyakini yang menakdirkan adalah Allah sedangkan makhluk-makhluk tersebut bukan pelaku dan hanya sebagai sebab saja, maka seperti ini hukumnya haram, tidak sampai derajat syirik. Dan apabila yang dimaksudkan cuma sekedar pemberitaan, -seperti mengatakan, “Hari ini hujan deras, sehingga kita tidak bisa berangkat ke masjid untuk shalat”, tanpa ada tujuan mencela sama sekali maka seperti ini tidaklah mengapa.[24]

Intinya, mencela hujan tidak terlepas dari hal yang terlarang karena itu sama saja orang yang mencela hujan mencela Pencipta hujan yaitu Allah Ta’ala. Ini juga menunjukkan ketidaksabaran pada diri orang yang mencela. Sudah seharusnya lisan ini selalu dijaga. Jangan sampai kita mengeluarkan kata-kata yang dapat membuat Allah murka. Semestinya yang dilakukan ketika turun hujan adalah banyak bersyukur kepada-Nya sebagaimana telah diterangkan dalam point-point sebelumnya.

[8] Berdo’a Setelah Turunnya Hujan

Dari Zaid bin Kholid Al Juhani, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan shalat shubuh bersama kami di Hudaibiyah setelah hujan turun pada malam harinya. Tatkala hendak pergi, beliau menghadap jama’ah shalat, lalu mengatakan, ”Apakah kalian mengetahui apa yang dikatakan Rabb kalian?” Kemudian mereka mengatakan,”Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui”. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

« أَصْبَحَ مِنْ عِبَادِى مُؤْمِنٌ بِى وَكَافِرٌ فَأَمَّا مَنْ قَالَ مُطِرْنَا بِفَضْلِ اللَّهِ وَرَحْمَتِهِ. فَذَلِكَ مُؤْمِنٌ بِى وَكَافِرٌ بِالْكَوْكَبِ وَأَمَّا مَنْ قَالَ مُطِرْنَا بِنَوْءِ كَذَا وَكَذَا. فَذَلِكَ كَافِرٌ بِى مُؤْمِنٌ بِالْكَوْكَبِ »

“Pada pagi hari, di antara hambaKu ada yang beriman kepadaKu dan ada yang kafir. Siapa yang mengatakan ’Muthirna bi fadhlillahi wa rohmatih’ (Kita diberi hujan karena karunia dan rahmat Allah), maka dialah yang beriman kepadaku dan kufur terhadap bintang-bintang. Sedangkan yang mengatakan ‘Muthirna binnau kadza wa kadza’ (Kami diberi hujan karena sebab bintang ini dan ini), maka dialah yang kufur kepadaku dan beriman pada bintang-bintang.”[25]

Dari hadits ini terdapat dalil untuk mengucapkan ‘Muthirna bi fadhlillahi wa rohmatih’ (Kita diberi hujan karena karunia dan rahmat Allah) setelah turun hujan sebagai tanda syukur atas nikmat hujan yang diberikan.

Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin rahimahullah mengatakan, ”Tidak boleh bagi seseorang menyandarkan turunnya hujan karena sebab bintang-bintang. Hal ini bisa termasuk kufur akbar yang menyebabkan seseorang keluar dari Islam jika ia meyakini bahwa bintang tersebut adalah yang menciptakan hujan. Namun kalau menganggap bintang tersebut hanya sebagai sebab, maka seperti ini termasuk kufur ashgor (kufur yang tidak menyebabkan seseorang keluar dari Islam). Ingatlah bahwa bintang tidak memberikan pengaruh terjadinya hujan. Bintang hanya sekedar waktu semata.”[26]

Demikian beberapa amalan yang bisa diamalkan ketikan hujan turun.

Semoga Allah memudahkan posting selanjutnya mengenai fenomena kilatan petir dan geledek.


Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel http://rumaysho.com



[1] Lihat Majmu’ Al Fatawa, Ibnu Taimiyyah, 24/262, Darul Wafa’, cetakan ketiga, 1426 H.

[2] Lihat Adabul Mufrod no. 686, dihasankan oleh Syaikh Al Albani

[3] HR. Bukhari no. 3206

[4] Fathul Bari Syarh Shohih Al Bukhari, Ibnu Hajar Al ’Asqolani Asy Syafi’i, 6/301, Darul Ma’rifah, Beirut, 1379 H

[5] HR. Bukhari no. 1032, Ahmad no. 24190, dan An Nasai no. 1523.

[6] Syarh Al Bukhari, Ibnu Baththol, 5/18, Asy Syamilah.

[7] Al Mughni fi Fiqhil Imam Ahmad bin Hambal Asy Syaibani, Ibnu Qudamah Al Maqdisi, 2/294, Darul Fikr, Beirut, cetakan pertama, 1405 H.

[8] Dikeluarkan oleh Imam Syafi’i dalam Al Umm dan Al Baihaqi dalam Al Ma’rifah dari Makhul secara mursal. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih. Lihat Shohihul Jaami’ no. 1026.

[9] HR. Al Hakim dan Al Baihaqi. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan. Lihat Shohihul Jaami’ no. 3078.

[10] HR. Bukhari no. 1014.

[11] Zaadul Ma’ad, Ibnu Qayyim Al Jauziyah, 1/439, Muassasah Ar Risalah, cetakan ke-14, tahun 1407 H.

[12] Lihat Dzikru wa Tadzkir, Sholih As Sadlan, hal. 28, Asy Syamilah.

[13] HR. Muslim no. 898.

[14] Syarh Muslim, Yahya bin Syarf An Nawawi, 6/195, Dar Ihya’ At Turots Al ‘Arobiy, cetakan kedua, 1392 H.

[15] Syarh Muslim, 6/196.

[16] Lihat Adabul Mufrod no. 1228. Syaikh Al Albani mengatakan sanad hadits ini shohih dan hadits ini mauquf [perkataan sahabat].

[17] Al Mughni, 2/295.

[18] Dikeluarkan oleh Al Baihaqi dalam Sunan Al Kubro (3/359) dan Tuhfatul Muhtaj (1/567). Dikeluarkan pula oleh An Nawawi dalam Al Khulashoh (2/884) dan Ibnu Katsir dalam Irsyadul Faqih (1/216) [dinukil dari http://dorar.net ]. Lihat pula Zaadul Ma’ad, Ibnul Qayyim, 1/439. Hadits ini adalah hadits yang lemah karena munqothi’ yaitu ada sanad yang terputus.

[19] Syaikh Al Albani dalam Dho’if Al Jaami’ no. 4416 mengatakan bahwa hadits ini dho’if.

[20] HR. Muslim, Abu Daud, Al Baihaqi, dan Ahmad. Lihat Irwa’ul Gholil no. 679. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.

[21] HR. Bukhari no. 6478.

[22] HR. Bukhari no. 4826 dan Muslim no. 2246, dari Abu Hurairah.

[23] HR. Tirmidzi no. 2252, dari Abu Ka’ab. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.

[24] Faedah dari guru kami Ustadz Abu Isa hafizhohullah. Lihat buah pena beliau “Mutiara Faedah Kitab Tauhid”, hal. 227-231, Pustaka Muslim, cetakan pertama, Jumadal Ula 1428 H.

[25] HR. Bukhari no. 846 dan Muslim no. 71, dari Kholid Al Juhaniy.

[26] Kutub wa Rosa’il Lil ‘Utsaimin, 170/20, Asy Syamilah.

Sabtu, 28 November 2009

Senangnya...

Just wanna say:

"senangnya...^^"


Jumat, 27 November 2009

Pesona yang Memudar

wahai insan

tak kukira adalah semua semu

indahmu sekedar bayang

terangmu ilusi belaka

bak bulan yang berlindung

dibalik kemegahan sang mentari

hmm

nyaris saja


Minggu, 22 November 2009

Segenggam Mimpi

Raut wajah berseri tampak saat bayang-bayang buah hati menghiasi lamunan. Adalah "qulhuwallaahu ahad" salah satu senandung yang sang ayah-bunda ajarkan di gubuk sederhana nan istimewa itu. Bukan nyanyian grup band kontemporer yang saat ini mendunia tapi tak mengakhirat. Bukan pula Crayon Shinchan atau Naruto yang menjadi panutan si kecil. Melainkan kisah keberanian dan kecerdasan sahabat muda belia Zaid bin Tsabit yang siap membela Rasulullah di medan perang di usianya yang ke-13.


Ketegasan sang ayah membimbingnya menjadi pemuda tangguh. Kelembutan sang bunda membentuknya menjadi pribadi bijak. Kehangatan dan kesejukan pun melarut padu dalam keriangan canda tawa bahagia.

"Wahai Rabb kami, anugerahkanlah bagi kami pasangan-pasangan hidup dan keturunan kami sebagai penyejuk mata kami, dan jadikanlah kami pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa."
(Al Furqan: 74)

Allahumma amiin...

Rabu, 18 November 2009

Yakin dan Bersabarlah…

Resah, bimbang, gelisah, kalut dan segala perasaan tak positif ini bercampur aduk dalam larutan kegalauan hati disaat diri merasa tak mampu lagi menghadapi problematika hidup yang kian kompleks. “Loneliness is not the same as being alone” sekonyong-konyong menjadi bayang-bayang ketakutan yang menghantui tiap detak kehidupan. Ketika jiwa mencoba bangkit (namun tanpa arah) dari kelumpuhan semu yang mengrogoti setiap sudut persendian, tarikan medan magnet kecemasan kembali memenangi pertarungan tanpa wasit itu. Nampaknya begitulah sekelumit kisah ketika “makhluk” bernama futur itu mulai berani menginap menjadi parasit pada nurani yang rentan terkotori ini. Rasulullah bersabda:

“Ketahuilah bahwa di dalam tubuh terdapat segumpal daging. Jika ia baik maka seluruh tubuhnya menjadi baik. Jika ia rusak maka seluruh tubuhnya menjadi rusak. Ketahuilah bahwa hal itu adalah hati.”
(HR. Bukhari dan Muslim)

Apa gerangan yang secara dahsyat dapat menyerang hati manusia dan menyebabkan prilakunya menjadi rusak. Adalah sumber malapetaka itu datang dari dua penyakit yang akan senantiasa menjadi fitnah bagi umat manusia. Pertama adalah fitnah syubhat yang artinya samar, kabur, atau tidak jelas. Penyakit syubhat ini akan merusakkan ilmu dan keyakinan. Sedangkan yang kedua adalah fitnah syahwat yang artinya selera, nafsu, keinginan atau kecintaan yang secara istilah bermakna mengikuti apa-apa yang disenangi oleh hati/nafsu yang keluar dari batasan syari’at. Fitnah kedua ini akan menyebabkan kerusakan niat, kehendak dan perbuatan penderitanya. Imam Ibnul Qayyim berkata:

“Asal seluruh fitnah (kesesatan) hanyalah dari sebab mendahulukan pikiran terhadap syara’ (agama) dan mendahulukan hawa nafsu terhadap akal. Yang pertama adalah fitnah syubhat dan yang kedua adalah fitnah syahwat.”

Maha Suci Allah Yang Maha Menyayangi hambaNya. Saat manusia dilanda wabah penyakit yang sangat membahayakan ini, Allah menjawabnya dengan firmanNya yang menjadikan kepemimpinan agama ini bergantung pada dua perkara:

“Dan kami jadikan di antara mereka (Bani Israil) itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar. Dan adalah mereka meyakini ayat-ayat Kami.”
(As-Sajdah: 24)

Ini menunjukkan bahwa dengan kesabaran dan keyakinan akan dapat diraih kepemimpinan dalam agama. Dua hal istimewa ini menjadi penangkal dari dua buah fitnah ganas yang harus segera ditanggulangi. Fitnah syubhat ditolak dengan keyakinan dan fitnah syahwat ditolak dengan kesabaran. Maka dengan kesempurnaan akal dan kesabaran, fitnah syahwat akan ditolak dan dengan kesempurnaan ilmu dan keyakinan, fitnah syubhat akan ditolak.

Akhir cerita sang jiwa kembali bangkit dari keterpurukannya, namun bukan tanpa arah kali ini, melainkan tertuju kepada pelita cahaya Sang Pemberi Petunjuk yang senantiasa menuntun manusia menuju kebenaran yang hakiki bukan kepalsuan sebuah pembenaran. Lalu masihkah patut kita merasa kesepian saat berusaha mencari secercah jalan keluar dari kemelut hidup yang tak berujung. Sebagai penutup renungilah beberapa tetes embun berikut yang menyegarkan segala dahaga, melipur lara yang luka, dan mengiringi perjuangan dalam menegakkan DienNya:

“Sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang sabar”
(Al-Anfal: 46)

“Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan”
(Ath-Thalaq: 7)

“Setelah kesempitan dan kesulitan akan ada kemudahan dan kelapangan”
(Ibnul Jauzi)

“Janji Allah itu pasti dan tidak mungkin Dia mengingkari janji-Nya”
(Ibnu Katsir)

“Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan) nya.
(Ath-Thalaq: 2-3)

“Dan barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya”
(Ath-Thalaq: 4)

Semoga Allah senantiasa memberikan taufik dan hidayahnya kepada kita agar senantiasa berada di JalanNya. Yakinlah ikhtiar dan do’a kita akan mentranformasi kesulitan menjadi jalan keluar!!

Wallahul Musta’an

Sabtu, 07 November 2009

Gantungkan Cita-Citamu Setinggi Langit!!

Abul Faraj Ibnul Jauzi ketika menerangkan ucapan Abu Thayyib Al-Mutanabbi mengatakan:

“Aku tidak menganggap aib-aib manusia sebagai kekurangan, seperti kurangnya orang-orang yang mampu mencapai kesempurnaan.”

Beliau berkata:

“Seyogyanya orang yang berakal berusaha menyempurnakan dirinya sampai batas maksimal yang ia mampu. Seandainya digambarkan kepada anak Adam dirinya dapat naik ke atas langit, sungguh aku memandang kerelaannya tinggal di bumi ini merupakan seburuk-buruknya kekurangan. Jika saja kenabian dapat diperoleh dengan usaha yang sungguh-sungguh, niscaya aku memandang orang-orang yang meninggalkan upaya dalam mendapatkanya berada pada puncak kerendahan. Perjalanan hidup yang baik, menurut para ahli hikmah, adalah keluarnya suatu jiwa menuju puncak kesempurnaan yang mungkin dalam keilmuan dan amalan.”

Beliau berkata:

“Secara ringkas, tidaklah ia tinggalkan satu keutamaan pun yang mungkin untuk dia raih melainkan ia berusaha mendapatkannya. Karena sesungguhnya merasa cukup (dalam hal ini, pen) adalah kondisi orang orang yang rendah. Maka jadilah dirimu seorang yang kedua kakinya berpijak di atas tanah, akan tetapi cita-citanya berada pada bintang Tsurayya.

Jikalau engkau mampu untuk melampaui seluruh ulama dan orang-orang yang zuhud, maka lakukanlah. Karena sesungguhnya mereka adalah lelaki dan engkau pun juga lelaki, dan tidaklah para pemalas itu bermalas-malasan melainkan karena rendahnya keinginan dan hinanya cita-citanya.

Ketahuilah, sungguh engkau berada pada medan pertempuran, sedangkan waktu itu akan berlalu dengan cepat. Maka janganlah engkau kekal dalam kemalasan. Tidaklah sesuatu itu dapat terluput melainkan karena KEMALASAN, dan tidaklah seseorang dapat meraih apa yang dicapainya melainkan karena KESUNGGUHAN dan TEKADNYA YANG BULAT."

(Awa’iquth Thalab hal. 51-52)




Referensi:
Majalah Asy-Syariah Vol. V/No. 53/1430 H/2009

Menguatkan Penantian

Hari-hari ini nyatanya bukan hanya sekedar usaha saja sebagai sebuah pemenuh kepuasan, hari-hari ini bukan saja sebuah doa menjadi perubah segala keadaan tertentu menjadi tentu, tetapi hari-hari ini adalah hari dimana seseorang membuat penahan atas dirinya tanpa tergesa dalam mencapai apa yang dimau. Tiap detak perjalanan menyibakkan sebuah penantian untuk sebuah pencapaian atas hasil pencitaan.

Ada kekuatan besar sejatinya dibalik nilai-nilai penantian. Penantian yang tentunya memiliki sebuah usaha untuk menggapainya. Bukan sekedar penantian tanpa batasan waktu jelas, ataukah penantian yang semakin membebankan, atau pun penantian dengan api emosi terpendam. Penantian adalah sebuah keindahan. Bukankah tidak semua hal yang diinginkan pun terkadang membuat seseorang menunggu hasilnya. Dan Allah sebagai Maha Pemberi pastinya mengetahui kapan waktu hasil tersebut mesti diberikan kepada hambanya. Dan Allah pun Maha Melihat dari tiap usaha hambanya. Penantian dari sebuah usaha agar mendapatkan hasil yang paripurna. Bukankah pula ada memang mereka-mereka yang mencintai dan serius menikmati indahnya
penantian.

Sebuah ucapan indah seorang Ibnu Jauzi soal penantian, ya penantian atas sebuah usaha pertobatan dengan harap doa terkabulkan, "Aku ingin beribadah dengan doa dan aku juga yakin suatu saat, doaku pasti dikabulkan. Hanya saja, mungkin tidak sekarang dikabulkan, demi kemaslahatanku yang akan datang pada waktunya nanti. Dan jika tidak dikabulkan pun, aku sudah beruntung bisa beribadah dan menyerahkan diri kepada Allah." Begitulah penantian, selalu ada saja hikmah yang mengiringinya. Bisa jadi apabila tidak menanti, kita mendapatkan hasil yang ternyata lebih banyak madharatnya. Nikmatilah penantian jangan tergesa memaksakan tanpa perkiraan. Sebagaimana Jundub bin Junadah radhiyallahu 'anhu diantara dakwahnya pada Bani Ghifar dan Bani Aslam.

Penantian Bani Ghifar dan Aslam

Termasuk juga generasi pertama yang masuk Islam adalah Abu Dzar Al-Ghifari. Dia adalah seorang dari Arab gunung (Badui) yang manis tutur katanya dan fasih (demikianlah keistimewaan orang-orang Badui dalam segi bahasa mereka sangat fasih, pen).

Ketika dia mendengar diutusnya Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, dia menyuruh saudaranya: "Naikilah kendaraanmu ke lembah ini dan beritahu aku tentang berita orang yang mengaku nabi dan datang kepadanya berita dari langit! Dengarlah ucapannya, dan bawalah kemari." Maka berangkatlah ia sampai datang ke Makkah. Di sana ia mendengar ucapan Rasul shallallahu alaihi wa sallam, kemudian kembali kepada Abu Dzar dan berkata: "Aku melihat dia menyuruh agar kita berakhlak yang mulia dan dia mengucapkan ucapan yang bukan sya'ir."

Abu Dzar berkata: "Engkau tidak mencukupi apa yang aku inginkan." Kemudian dia mempersiapkan bekalnya, membawa tempat airnya dan berangkatlah beliau ke Makkah. Beliau mendatangi masjid dan mencari-cari Nabi shallallahu alaihi wa sallam (dalam keadaan tidak mengenalinya). Tapi dia tidak suka untuk bertanya tentangnya, karena dia mengetahui kebencian Quraisy kepada setiap orang yang berhubungan dengan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam.

Ketika datang waktu malam, Ali radhiallahu anhu melihat dia. Maka tahulah Ali radhiallahu anhu bahwa dia orang asing. Diajaknya dia sebagai tamunya di rumahnya. Ali tidak bertanya tentang sesuatu (tujuan atau keperluan) satu sama lain sesuai dengan kaidah dalam menghormati tamu di kalangan Arab, yaitu tidak bertanya tentang tujuan dan maksud kedatangannya, kecuali setelah tiga hari.

Pada pagi harinya, kembali dia membawa tempat air dan bekalnya ke masjid sampai habis hari itu dan dia belum melihat Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Maka ketika petang hari, dia kembali ke pembaringannya di masjid. Kemudian Ali melewatinya dan berkata: "Bukankah sudah waktunya seorang untuk mengetahui rumah yang kemarin dia diterima sebagai tamunya?" Maka dibangunkannya kemudian pergi bersamanya, juga tak saling bertanya satu sama lainnya. Pada hari yang ketiga, kembali dia seperti tadi, maka Ali berkata kepadanya: "Tidaklah engkau mau mengabarkan kepadaku apa yang menyebabkan engkau datang kemari?" Dia berkata: "Kalau engkau mau memberikan janji kepadaku mau menunjukkan aku, akan kerjakan (menjawab)." Maka Ali memberikan janjinya dan dia mengabarkan. Ali berkata: "Sesungguhnya itu adalah haq. Dia adalah utusan Allah. Jika pagi hari nanti, ikutilah aku. Kalau aku melihat sesuatu yang aku khawatirkan atasmu aku berhenti, seakan-akan aku menuangkan air. Dan jika aku berjalan, ikutilah aku sampai engkau masuk ke tempat aku masuk." Abu Dzar pun mengerjakan yang demikian. Dia berangkat mengikuti jejak Ali sampai masuk ke tempat Nabi shallallahu alaihi wa sallam dan mendengarkan ucapannya. Di situ beliau masuk Islam dan berkatalah Nabi shallallahu alaihi wa sallam: "Pulanglah engkau ke kaummu dan khabarkanlah kepada mereka (tentang aku) sampai datang perintahku." Dia berkata (Abu Dzar): "Demi yang jiwaku ada di tangan-Nya, aku akan menyeru dengannya di tengah-tengah mereka (kaum Quraisy)." Dia segera keluar hingga mendatangi masjid berseru dengan sekeras suaranya: "Asyhadu anla ilaha Illallah, wa asyhadu anna Muhammadar Rasulullah!" Maka bangkitlah kaum Quraisy dan memukulinya hingga ia terbaring. Abbas pun datang memarahi mereka dan mengucapkan: "Celaka kalian! Tidakkah kalian tahu bahwa dia dari suku Ghifar? Jalan perdagangan kalian ke Syam melewati mereka." Abbas segera menolongnya dan menyelamatkannya dari mereka. Tetapi kembali Abu Dzar mengulanginya pada keesokan harinya dan kembali mereka memukulinya sampai Abbas datang kembali. (HR. Bukhari dalam Manaqibul Anshar dan Muslim dalam Fadha`il Shahabah), dan dalam riwayat lain berisi sambungan hadits tersebut yakni Rasulullah menyuruh Abu Dzar kembali ke kaumnya. Dan menunggu berita selanjutnya dari Nabi shalallahu 'alayhi wa sallam. Hingga akhirnya suatu ketika Rasulullah berpapasan dengan jumlah orang banyak ketika perjalanan safar. Menemukan sebagian besar Bani Ghifar dan Bani Aslam telah masuk Islam atas upaya Abu Dzar. Berkatalah Rasulullah, "Semoga Allah mengampuni Suku Ghifar, dan memberikan keselamatan atas Suku Aslam"

Mengindahkan Penantian

Indahnya sebuah penantian berakhir doa yang menjanjikan. Bukankah memang kita hidup hanya penuh dengan penantian sebagai sebuah jawaban pasti dari usaha yang tiap detak gerik dilakukan. Bukankah hari ini kita sama-sama menanti kematian? Dan kita mengetahui soal dahsyatnya hari-hari setelah kematian? Begitulah penantian. Tidak mesti selamanya menjenuhkan dan membosankan. Selagi upaya telah berjalan, maka biarkanlah penantian mengisi selang jawaban untuk mengakhiri hasilnya pada tabung keputusan. Ada kala tabung itu berisi sangat pelan, namun pasti akan penuh sekalipun waktunya berlama jalan. Bisa pula cepat terisi dengan sangat seiring tekanan yang kuat dari aliran hulunya menuju hilir tanpa sumbatan. Penantian, mengajarkan kita untuk lebih banyak sadar memupuk kesabaran.

Bukan penantian konyol yang disajikan para kaumnya Musa 'alayhissalam,

Dan (Ingatlah) ketika Musa Berkata kepada kaumnya: "Hai kaumku, ingatlah nikmat Allah atasmu ketika dia mengangkat nabi nabi diantaramu, dan dijadikan-Nya kamu orang-orang merdeka, dan diberikan-Nya kepadamu apa yang belum pernah diberikan-Nya kepada seorangpun diantara umat-umat yang lain". Musa berkata: "Hai kaumku, masuklah ke tanah Suci (Palestina) yang Telah ditentukan Allah bagimu, dan janganlah kamu lari kebelakang (karena takut kepada musuh), Maka kamu menjadi orang-orang yang merugi. Mereka berkata: "Hai Musa, Sesungguhnya dalam negeri itu ada orang-orang yang gagah Perkasa, Sesungguhnya kami sekali-kali tidak akan memasukinya sebelum mereka ke luar daripadanya. jika mereka ke luar daripadanya, pasti kami akan memasukinya". Berkatalah dua orang diantara orang-orang yang takut (kepada Allah) yang Allah Telah memberi nikmat atas keduanya: "Serbulah mereka dengan melalui pintu gerbang (kota) itu, Maka bila kamu memasukinya niscaya kamu akan menang. dan Hanya kepada Allah hendaknya kamu bertawakkal, jika kamu benar-benar orang yang beriman". Mereka berkata: "Hai Musa, kami sekali sekali tidak akan memasuki nya selama-lamanya, selagi mereka ada didalamnya, Karena itu pergilah kamu bersama Tuhanmu, dan berperanglah kamu berdua, Sesungguhnya kami hanya duduk menanti disini saja". Berkata Musa: "Ya Tuhanku, Aku tidak menguasai kecuali diriku sendiri dan saudaraku. sebab itu pisahkanlah antara kami dengan orang-orang yang fasik itu". Allah berfirman: "(Jika demikian), Maka Sesungguhnya negeri itu diharamkan atas mereka selama empat puluh tahun, (selama itu) mereka akan berputar-putar kebingungan di bumi (padang Tiih) itu. Maka janganlah kamu bersedih hati (memikirkan nasib) orang-orang yang fasik itu." (QS. Al_Maa'idah : 21-26).

Penantian terindah ialah saat mengerjakan apa yang dapat dilakukan dan terdekat dengan momentum termudah untuk dikejar, sebagaimana Ibnu Umar berkata disaat beliau usai mengucapkan hadits Rasulullah shalallahu 'alayhi wa sallam, "Jadilah engkau di dunia ini seperti orang asing atau bahkan seperti orang yang sekedar lewat (musafir)." (HR. Al-Bukhari no. 6416), "Bila engkau berada di sore hati maka janganlah engkau menanti datangnya pagi. Sebaliknya bila engkau berada di pagi hari, janganlah menanti datangnya sore hari. Gunakanlah waktu sehatmu (untuk beramal ketaatan) sebelum datang sakitmu. Dan gunakan hidupmu (untuk beramal shalih) sebelum kematian menjemputmu."

Maka janganlah bermurung durja dalam menanti, sebab demikian menyumbat hasil atas jawaban yang diingini. Akan tetapi hiasi momentum penantian dengan manfaat yang menyisakan penantian berikutnya. Agar ketika satu penantian terjawab memuaskan, maka telah ada usaha yang terserahkan untuk dinanti jawaban berikutnya. Berputar mengisi tanpa henti aliran deras penuh tekanan bernama ketawakalan.

Wallahu 'Alam bi Shawwab
Akh Rizki Aji - Sobatmuda.com.

http://sobat-muda.com/content/view/137/1/

Mengapa Bayi Anda Menangis?

Mengapa bayi selalu menangis? Bayi menangis sebab ini satu-satunya cara mereka berkomunikasi dengan orang tuanya. Sebagai orang tua baru anda akan merasa bahwa semua tangisan terdengar sama dan bertanya apa sebenarnya yang diingikan bayi anda. Tapi dengan berjalannya waktu anda akan belajar pelahan-lahan memahami arti dari setiap tangisan bayi anda, sehingga anda tidak menjadi panik atau putus asa karena tangisannya lagi.

Yakinlah bersamaan dengan waktu anda akan belajar bahwa tangisan bayi mempunyai suara yang berbeda, memang tidak mudah memahaminya, dan memerlukan waktu untuk mengerti arti tangisan bayi anda, serta dibutuhkan kesabaran dari ayah-ibu, tapi disinilah kebahagian menjadi orang tua anda belajar mengerti bayi anda, jangan lupa sikecilpun sedang belajar mengerti anda.

Beberapa alasan mengapa bayi anda menangis:

Lapar

Tangisan karena lapar biasanya terus menerus, iramanya teratur, lama kelamaan bertambah keras. Check juga kapan terakhir anda memberi makan/susu kepada bayi anda?, Jika bayi belum disusui(ASI) setelah 1-2 jam atau dengan susu formula sekitar 2 jam maka mungkin bayi anda menangis karena lapar.

Minta Ganti Popok

Bayi juga dapat merasa tidak nyaman dengan tubuhnya, baik itu terasa kotor atau basah pada popoknya dan mereka belum dapat menyatakan ketidaknyaman itu pada kita sehingga mereka hanya menangis. Tangisannya mirip seperti tangisan lapar tapi anda dapat mencek kapan terakhir anda memberikan susu. Pada beberapa bayi tidak menangis meskipun basah atau kotor. Perlunya bagi orang tua untuk mengecek popok si kecil secara berkala, umumnya setelah waktu minum.

Kedinginan

Bayi baru lahir merasa senang bila dibungkus dengan kain sehingga menjadi hangat. Karena mereka terbiasa dengan kehangatan dan kenyamanan sewaktu mereka dalam rahim ibunya. Sehingga sewaktu anda membuka baju bayi anda untuk dimandikan atau diganti popok, bayi akan menangis sebagai penyataan kehilangan rasa hangat dan nyaman. Tangisan terdengar seperti rintihan. Tapi setelah anda memberikan baju atau selimut bayi akan berhenti menangis. Juga jangan terlalu membungkus rapat atau memberikan baju yang berlebihan karena bayi juga dapat merasa kepanasan.

Minta digendong dan dipeluk

Bayi sangat senang melihat wajah orang tuanya mendengar suara, detak jantung dan mencium bau tubuh ibu (terutama bau dari air susu ibu). Mereka senang untuk dipeluk setelah selesai disusui, dimandikan atau digantikan popoknya, dan yakinlah bayi anda akan tertidur dalam pelukan/gendongan anda. Jadi bayi pun menangis untuk menarik perhatian anda.

Kelelahan

Beberapa bayi yang tidak terbiasa dengan lingkungan baru akan menangis ketika mereka merasa lelah, dan biasanya bayi yang belum tidur sejenak, maka akan lebih mudah rewel, dan akan mulai menangis dengan gangguan kecil saja. Kita dapat menilai kalau bayi kelelahan dengan melihat bayi mengusap-usap matanya atau telinganya. Anda dapat menghindari hal ini dengan selalu memberikan waktu rutin dimana bayi mempunyai waktu untuk istirahat.

Stimulus yang berlebihan

Tidak semua bayi dapat beradaptasi dengan mudah pada lingkungan barunya. Jika bayi berada di tempat baru dengan banyak wajah-wajah baru, yang ingin mengendongnya bergantian, bagi bayi dapat menjadi sangat tidak menyenangkan dan tidak nyaman. Bayi akan menangis karena stimulasi yang berlebihan. Dalam situasi seperti ini tenangkan sikecil, gendong, ajak ketempat yang agak sepi, cobalah untuk membatasi jumlah orang yang akan mengendong bayi anda.

Bosan

Jangan pikir bayi hanya menangis karena lapar dan basah popok. Bayi anda juga dapat merasa bosan dengan rutin yang ada. Cobalah bawa bayi anda berkeliling dengan tempat duduknya bawalah kemana anda pergi, ikutkan dalam aktivitas anda. Bayi senang melihat warna-warni jadi bila bayi sudah cukup kuat untuk tengkurap anda dapat meletakkan mainan atau buku dengan gambar yang menarik.

Tangisan karena sakit

Tangisan karena bayi anda kesakitan berbeda dengan tangisan karena lapar, bayi menangis dengan keras, menahan nafas sebentar karena rasa tak enaknya, dan sekali-kali menangis dengan nada yang tinggi. Percayalah terhadap naluri anda ketika bayi menangis tidak dengan seharusnya. Anda dapat membawa ke dokter untuk memastikannya.

Kolik

Kolik dimana bayi menangis dalam 3 jam sehari atau 3 hari perminggu. Jika bayi menangis dalam kesakitan, mukanya menjadi kemerahan, perutnya tegang, menarik kakinya, dan mengepalkan tangannya, kemungkinan terjadi kolik pada bayi anda. Sekitar 1 dari 5 bayi mengalami kolik tapi biasanya berakhir setelah bayi berusia 3 bulan. Menenangkan bayi yang sedang kolik tidak mudah, karena bayi sedang kesakitan cobalah untuk meringankan kesakitannya dengan menggendong dan mengayunkan perlahan, nyanyikan lagu yang lembut, usaplah punggung atau perutnya. Bila berlanjut bawalah ke dokter secepatnya.

Apapun yang anda lakukan ingatlah bahwa bayi anda menangis karena inilah satu-satunya cara komunikasi yang dapat dilakukannya, jadi jangan menjadikan anda putus asa–Bayi anda hanya ingin berbicara pada anda melalui tangisannya.

Ketika Cinta Berlabuh karena Allah

"sekalipun cinta telah kuuraikan dan kujelaskan panjang lebar
namun ketika cinta kudatamgi aku jadi malu pada keteranganku sendiri
meskipun lidahku telah mampu menguraikan
namun tanpa lidah cinta tampak lebih terang
smntara pena bgitu tergesa-gesa menuliskan
kata- kata pecah berkeping bgitu sampai pada cinta
dalam menguarai kan cinta akal terbaring tak berdaya
bagaikan keledai berbaring dalam lumpur"

Cinta bukan barang murahan. Cinta bukan sebuah aib yang mesti ditutupi. Namun, cinta adalah cinta. Terlalu sulit untuk dijabarkan apa maknanya. Sebab cinta itu di hati. Orang yang baik ialah orang yang memiliki rasa cinta. Tetapi apakah demikian menjadi barometer kebaikan seseorang? Tentu tidak jawabannya. Di sana banyak orang bercinta, percintaan yang ‘abadi’ kata mereka, bercinta dengan cintanya yang sangat, saling mencinta terhadap sang pautan kalbu dengan cintanya yang sangat, bercinta hingga mereka rela mengadu nasib sampai ke rantauan pulau jauhnya yang mereka rela demi satu maksud yakni cinta.

Kalau boleh kita ibaratkan cinta itu bagai sebuah kapal yang berlayar di samudera luas. Apabila nahkodanya baik maka insyaAllah kapal akan sampai kepada tujuan yang dikehendaki, namun apabila sebaliknya yakni nahkodanya buruk maka kapal itu akan tersesat tak sampai ke tempat. Demikian juga dengan cinta. Engkaulah sang nahkoda cinta. Apabila engkau kendalikan cintamu kepada hal-hal yang baik insya Allah engkau akan selamat dari gelombang badai fitnah yang susul menyusul.

Segala puji hanya bagi Allah yang telah menciptakan manusia dengan sebaik-baik penciptaan. Dialah Allah yang telah menanugerahkan kita fitrah, yakni fitrah cinta. Kita diberi rasa cinta oleh Allah. Sekarang tinggal bagaimana melaksanakan dan menjaga fitrah tersebut agar tetap berjalan di atas fitrah yang lurus.

"Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah), tetaplah atas fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. Itulah agama yang lurus tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahuinya."(QS.ArRum:30).

Tak dapat dipungkiri bahwasanya kini zaman semakin jauh dari masa kenabian, oleh karena itu pastilah orang-orang yang lurus di atas agama Allah hanya sedikit saja. Orang yang baik hanya sedikit saja dan islam akan kembali asing sebagaimana asingnya islam pada permulaan. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda dalam haditsnya yang mulia tatkala menyifati orang-orang yang asing (al-ghurobaa),

“Orang-orang yang shaleh di tengah-tengah orang-orang yang rusak, yang menentang mereka lebih banyak daripada yang menaati mereka” (HR.Ahmad. Shahih sebagaimana penjelasan Syaikh Salim bin ‘Ied Al hilaly dalam kitab Limaadzaa ikhtartu Manhaj Salaf hal.54)

Sebagai hamba Allah yang beriman cinta itu dilabuhkan hanya untuk dan karena Allah saja dengan sebenar-benar cinta. Dengan demikian, jadilah kita orang-orang yang beruntung. Orang musyrikin penyembah berhala mengaku cinta kepada Allah, karena kaum musyrikin meyakini Allah itu ada dan meyakini pula Allah itu sebagai pencipta, pemberi rizki, yang menurunkan hujan dari langit, yang maha menghidupkan dan mematikan, mereka yakin terhadap rububiyyah Allah yang memang seluruh manusia telah mengikrarkan keesaan-Nya. Sayang, di samping mereka mencintai Allah mereka juga mencintai sesembahan-sesembahan mereka bahkan mereka mencintainya lebih dari cintanya kepada Allah. Allah berfirman: “Dan diantara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. adapun orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah...”(QS.Al baqarah 165). Dan yang dimaksud dengan orang yang zalim di sini ialah orang-orang yang menyembah selain Allah.

Tatkala seseorang mencintai selain Allah lebih daripada kecintaannya kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah terjerumus ke dalam syirik akbar, syirik yang membatalkan keislaman seseorang, ini dinamakan syirkul mahabbah, berhati-hatilah darinya! na’udzubillah wa nasalullaha al’afiyah was salaamah..

Lantas bagaimana seharusnya kita bersikap terhadap orang yang memang kita cintai seperti halnya ibu cinta anaknya atau suami cinta istrinya? Bukankah Nabi yang mulia bersabda, “Tidaklah kalian akan masuk surga sampai kalian beriman dan tidaklah kalian beriman hingga kalian saling mencintai…” (HR Muslim no 54, Abu Dawud 5193, dan Tirmidzi 2689). Kita jawab betul. Namun hal tersebut perlu dirinci lebih detil lagi dan tak sesimpel ini. Kita lihat siapa yang kita cintai, karena apa kita cintai, dan cinta apa yang kita maksudkan? Kalau yang kita cintai ialah sahabat kita sesama muslim, kita mencintainya karena Allah dan kita mencintainya atas dasar iman dan taqwa maka sungguh ini merupakan nikmat yang agung dari Allah Ta’ala dan bukan termasuk kesyirikan sebab persahabatan dengan saudara seiman adalah suatu bentuk ibadah kepada Allah, suatu amalan yang dicintai oleh Allah maka hendaknya ia ikhlas tatkala bersahabat dengan saudaranya “Lalu menjadilah kalian karena nikmat Allah orang-orang yang bersaudara, dan kalian dahulu berada di tepi jurang neraka lalu Allah menyelamatkan kalian darinya” (QS Ali ‘Imron 103). Tapi ingat, apakah cinta tersebut mutlak diberikan kepada sahabat kita sesama muslim? Jawabannya ternyata tidak. Karena mereka juga manusia seperti kita yang pasti punya dosa dan khilaf. Memeperlakukan mereka juga harus adil, kita tempatkan keloyalan kita karena keimanan mereka terhadap Allah dan kita tempatkan benci kita kepada mereka atas dosa-dosa mereka. Itulah sahabat sejati. Jika persaudaraan dan persahabatan dilandasi karena Allah maka persahabatan tersebut akan langgeng. Tapi jika persahabatan terbangun karena kepentingan duniawi maka kecintaan dan persahabatan tersebut akan pudar dan sirna.

Tak selamanya cinta itu baik dan membahagiakan pemiliknya. Suatu ketika hiduplah seorang shaleh yang ia senantiasa pergi ke masjid untuk shalat berjamaah. Saat ia hendak mengumandangkan adzan dari atas menara, ia menoleh ke arah bawah kepada seorang wanita nasrani yang jelita sehingga terfitnahlah ia. Ia tak jadi adzan lantas menemui wanita tadi dan menyatakan cintanya. Ia menginginkan wanita tersebut untuk ia nikahi. Namun wanita itu mengatakan, “kamu muslim saya nasrani..”. maka ia menjadi sedih. Cintanya yang sudah membara tak dapat dipadamkan, akhirnya ia masuk nasrani saat itu juga dengan rela. Belum lama dari itu, ia naik ke loteng rumah kemudian terjatuh. Seketika itu matilah ia di atas agama nasrani. Dulu ia shaleh, namun apa akhirnya? Sungguh, merugilah ia dengan dua kerugian. Kalau sudah begini, mutlakkah cinta kita katakan sebagai barang suci?

Saya mohon kepada Allah agar menjadikan kita seluruhnya orang-orang yang saling mencintai karena Allah yang Allah berkata kepada mereka: “Dimanakah orang-orang yang saling mencintai karena Aku maka pada hari ini Aku naungi mereka dibawah naunganKu di hari yang tidak ada naungan kecuali naunganKu”( HR Muslim no 2566, dari hadits Abu Hurairah, kitabul Adab, bab Fadlul hubbi fillah)

Dan aku mohon kepada Allah agar menjadikan aku dan kalian termasuk orang-orang yang saling tolong-menolong dalam mengerjakan kebajikan dan ketaqwaan, termasuk orang-orang yang saling nasehat-menasehati untuk hal itu dan orang-orang yang berkorban demi kebaikan yang membukakan pintu-pintu kebaikan dan yang menutup pintu-pintu kejelekan dan menjadikan kita termasuk orang-oang yang mencari wajah Allah dengan amalan mereka, dan mengaruniakan kepada itu semua. Sesungguhnya tidak ada daya dan upaya kecuali dengan idzin-Nya. Kita mohon kepada Allah agar mengampuni kita dan kedua orang tua kita dan mengampuni saudara-saudara kita yang telah mendahului kita dengan keimanan dan juga mengampuni saudara-saudara kita kaum muslimin secara umum dan semoga Allah memberi petunjuk kepada kita menuju apa yang diridhoinya dan shalawat dan salam dan barokah semoga tercurahkan kepada Nabi kita Muhammad.

oleh:
Bagus Muharyanto Al-Atsary
dikutip dari: group facebook "FSI Prisma Al-Azhar"